makalah: Reduksi, Integrasi, dan Kesatuan Ilmu
REDUKSI, INTEGRASI, DAN KESATUAN
ILMU
Makalah
ini Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Filsafat Ilmu yang
diampu oleh Prof. Dr. Aceng Rahmat, M.Pd. dan Dr. Siti Ansyoriah, M.Pd.
disusun
oleh :
Chintiya
Bayu Lestari
Nurul
Ulum
PENDIDIKAN BAHASA
PASCASARJANA
UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA
2017
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Filsafat
dapat digunakan sebagai objek penelitian. Penelitian dapat dilakukan dengan
berbagai macam metode yang digunakan. Dalam filsafat fenomenologi merupakan
metode dan filsafat. Sebagai metode, fenomenologi membentangkanlangkah-langkah
yang harus diambil sehingga kita sampai pada fenomena yang murni. Fenomenologi
mempelajari dan melukiskan ciri-ciri instrinsikfenomena-fenomena sebagai mana
fenomena itu sendiri menyingkap diri pada kesadaran. Seorang filsuf pertama
yang mencetuskan adanya fenomenologi adalah Edmurd Hussel.
Hussel
melihat fenomena berdasarkan dari apa kenampakan yang ada pada diri.
Fenomenologi dapat pula menjadi metode yaitu metode fenomenologis. Ada
perbedaan fenomenologi Hussel dengan Kant. Jika fenomena Kant mengacu pada apa
yang tampak, dan sesuatu yang tampak itu dapat dipahami dan dimengerti.
Sedangkan, fenomena Hussel memberi pengetahuan yang perlu dan esensial mengenai
apa yang ada.
Integrasi
merupakan penyatuan, penggabungan. Adanya penyatuan antara ilmu umum dan ilmu
agama. Dalam integrasi terdapat implementasi yang digolongkan menjadi empat
level, yaitu: level filosofis, level materi, level metodologis, dan level
stategi. Dalam kesatuan ilmu misalnya ilmu sains dan ilmu agama memiliki
kesatuan. Eisnten berpendapat bahwa ilmu tanpa agama akan buta, dan agama tanpa
ilmu akan lumpuh. Dari pendapat Einsten tersebut dapat kita peroleh ilmu
tersebut memiliki keterkaitan dan kesatuan.
B.
Rumusan
Masalah
1. Apakah
dalam integrasi dapat diimplementasikan pada pengajaran?
2. Ada
berapa macam fenomenologi?
3. Apakah
ilmu sains dan ilmu agama dapat menjadi kesatuan ilmu?
C.
Tujuan
1. Untuk
mengetahui pengertian reduksi.
2. Untuk
mengetahui macam-macam reduksi.
3. Untuk
mengetahui fenomenologi dalam kehidupan.
4. Untuk
mengetahui implementasi integrasi.
5. Untuk
mengetahui kesatuan ilmu antara ilmu agama dengan ilmu umum.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Filsafat
sebagai Ilmu
Filsafat
dapat digunakan sebagai objek penelitian, untuk mengetahui perbedaan filsafat
sebagai ilmu dan filsafat sebagai objek penellitian kita harus mengetahui
terlebih dahulu perbedaan antara “filsafat” dan “ilmu filsafat”. Filsafat dapat
diartikan sebagai asas atau pendirian yang nilai kebenarannya telah diyakini
dan diterima oleh seseorang, sebagai dasar atau pedoman untuk menjawab atau
memecahkan masalah-masalah fundamental dalam kehidupannya sedemi-kian rupa
sehingga filsafat sering disamakan dengan pandangan hidup atau ideologi. Ilmu
filsafat, seseorang dapat mencari dan menemukan kenyataan atau kebenaran yang
utuh integral, bukan yang parsial atau satu dimensi saja. Filsafat sebagai ilmu
memiliki objek sasaran yang diper-tanyakan terus-menurus, dan hasilnya disusun
dalam suatu sistem tertentu.
Filsafat
fenomenologi dengan tokohnya Edmund Husserl (1839-1939) juga ingin kembali
untuk menyelidiki hakikat obyek yang diselidiki dengan melalui langkah-langkah
metodis yakni: Reduksi Fenomenologis, Reduksi Eidetis dan Reduksi Transdental.
Dengan metodenya tersebut Husserl berhasil menjawab persoalan-persoalan hakiki
secara mendasar dan strukturral.
B.
Filsafat
sebagai Cara Berpikir
Berfilsafat
itu berpikir, tetapi tidak semuanya berpikir itu dikatakan berfilsafat.
Berpikir nonfil-safati dibedakan menjadi dua, yaitu:
a. Berpikir
tradisional
b. Berpikir
ilmiah
Berpikir
tradisional yaitu berpikir tanpa mendasarkan pada aturan-aturan berpikir
ilmiah. Artinya berpikir yang hanya mendasarkan pada tradisi atau kebiasaan
yang sudah berlaku sejak nenek moyang, sehingga merupakan warisan lama,
Sedangkan berpikir ilmiah adalah berpikir yang memakai
dasar-dasar/aturan-aturan pemikiran ilmiah, yang antara lain:
a. Metodis:
menggunakan metode, cara, jalan yang lazim digunakan dalam disiplin ilmu yang
dibicarakan;
b. Sistematis:
dalam berpikir, masing-masing unsur saling berkaitan satu sama lain secara
teratur dalam suatu keseluruhan, sehingga dapat tersusun suatu pola pengetahuan
yang ra-sional.
c. Obyektif:
kebenaran dari hasil pemikirannya dapat memperoleh bobot obyektif, tidak lagi
bersifat subyektif;
d. Umum:
tingkat kebenaran yang mempunyai bobot obyektif tersebut dapat berlaku umum, di
mana saja dan kapan saja.
1.
Berfilsafat
adalah Berpikir
Berpikir
dalam arti berfilsafat adalah berpikir yang konsepsional, mendasar, sehingga
menyentuh esensi yang ia pikirkan. Pemikiran kefilsafatan mempunyai ciri-ciri
tersendiri, antara lain:
a. Metodis : menggunakan metode, cara, jalan
yang lazim digunakan oleh para filsuf dalam proses berpikir filsafati;
b. Sistematis : dalam berpikir, masing-masing unsur
saling berkaitan satu sama lain secara teratur dalam suatu keseluruhan,
sehingga dapat tersusun suatu pola pemikiran yang filosofis.
c. Koheren : dalam berpikir unsur-unsurnya tidak
boleh mengandung uraian yang bertentangan satu sama lain namun juga memuat
uraian yang logis;
d. Rasional : harus mendasarkan pada kaidah
berpikir yang benar (logos)
e. Komprehensif : berpikir secara menyeluruh, artinya melihat
objek tidak hanya dari satu sisi/sudut pandang, melainkan secara
multidimensional.
f. Radikal : berpikir secara mendalam, sampai
akar yang paling ujung, artinya sampai menyentuh akar persoalannya, esensinya.
g. Universal : muatan kebenarannya sampai tingkat
umum universal, mengarah pada pandangan dunia, mengarah pada realitas hidup dan
realitas kehidupan umat manusia secara keseluruhan.
2.
Beberapa
Metode Berpikir (Berfilsafat)
Menurut
Dr. Anton Bakker dalam Sudarto menyebutkan beberapa metode filsafat sebagai
berikut.
a. Metode
intuitif (Plotinus dan Henri Bergson)
b. Metode
Skolastik
c. Metode
Geometris
d. Metode
Eksperimental
e. Metode
Kritis-Transdental
f. Metode
Dialektis
g. Metode
Fenomenologis (Edmund Husserl)
C.
Fenomenologi
Fenomenologi
mendasarkan pada fenomena (gejala). Fenomena berasal dari kata benda Phos yang berarti cahaya. Dalam kata
kerjanya disebut Phainomai yang
artinya menampakkan diri. Bagi Husserl fenomena bukan sebagaimana dimengerti
beberapa pe-mikir sebelumnya sesuai dengan prinsip kembali atau menuju benda
itu sendiri.
Bagi
Husserl fenomena adalah data sejauh disadari atau sejauh masuk dalam pe-mahaman.
Fenomena tak mungkin lepas dari kesadaran atau dipisahkan dengan kesadaran.
Fenomena dan kesadaran adalah suatu kesatuan yang identik. Fenomena yang
diselidiki harus bersifat hakiki, harus murni tak boleh terpengaruh oleh ruang
dan waktu.
Ada
tiga macam dalam fenomenologi yaitu:
1. Reduksi
fenomenologi
Yaitu
menyaring setiap keputusan yang secara naïf muncul terhadap obyek yang diamati.
Ada beberapa hal yang perlu disaring sehubungan dengan obyek tertentu, yaitu
segala keputusan yang bersifat subjektif, dalam kaitan ini pengamat harus
diserahkan pada obyektifitas, harus terbuka untuk gejala yang akan diajak
berbicara. Begitu pula obyek perlu disaring dari segala pengetahuan yang pernah
diteliti dan diperoleh dari sumber lain, baik itu merupakan teori atau
hipotesis yang pernah ada. Tujuan reduksi fenomenologis adalah untuk mencapai
fenomena yang semirni-murninya. Artinya subjek harus meng-osongkan dirinya
secara penuh atau dalam keadaan suwung.
2. Reduksi
eidetis
Tercapainya
fenomena murni dalam kesadaran tidaklah berarti perjalanan sudah sele-sai; kriterian fenomenologis sebagai
ilmu tentang hakikat harus dipenuhi. Oleh karena itu, obyek yang dijadikan
ajang pengamatan harus benar-benar hakiki. Obyek hakiki tersebut oleh Husserl
disebut eidos. Reduksi eidetis ini dapat dikatakan sebagai sikap untuk
menemukan eidos (esensi ) yang tersembunyi. Adapun hasil reduksi ini adalah
pemilihan hakikat yang sebenarnya dan bukan sesuatu yang sifatnya aksesoris
atau imajinatif semata.
Eidos
adalah adalah intisari atau pokok sejati. Intisari ini tidak dapat dipahami
sebagai suatu hal yang tersembunyi dibalik atau di alam factual. Dalam
fenomenologi taka da sesuatupun yang tersembunyi atau tertutup salah suatu yang
lain. Segalanya terbuka dan menampakkan diri.
3. Reduksi
transdental
Menurut
Husserl kedua reduksi tersebut di atas baru membersihkan bidang fenome-na;
fenomena direduksi hingga mencapai hakikat yang semurni-murninya. Pada reduksi
transdental kemurnian fenomenologi harus diimbangi pula dengan situasi subyek
yang hakiki yang terbebas dari pengalaman empirik. Karena itu dalam reduksi transdental
sasa-ran tidak lagi pada obyek atau fenomena tetapi tertuju langsung pada
subyek. Subyek harus dimurnikan hingga tak ada kesempatan yang berusaha yang
meragukan kebenarannya. Di dalam reduksi transdental eksistensi dan segala yang
tidak memiliki hubungan timbal balik dibersihkan dengan kesadaran murni. Fokus
dari reduksi transdental adalah terhadap subjek itu sendiri. Dengan demikian,
jika diperhatikan, reduksi transdental ini agak berbeda dengan dua jenis
reduksi lainnya, di mana dua reduksi lainnya tersebut lebih terkait erat
terhadap pemahaman subjek terhadap objek. Contoh: tatkala si A dipukul dengan
sadar, dia tidak membalas pukulan tersebut setelah meletakkan “aku” (“subjek
yang dipukul”) di dalam tanda kurung. Dia tidak membalas pukulan bukan karena
takut, tak berani, atau lain sebagainya, namun dia meletakan subjek empiris di
dalam tanda kurung untuk mencapai subjek sejati seperti yang dimaksud dalam
penjelasan tentang reduksi transdental.
D.
Integrasi
1.
Pengertian
Integrasi
Secara
etimologis, integrasi merupakan kata serapan dari bahasa Inggris –integrate; integration-yang kemudian diserap ke dalam bahasa Indonesia menjadi
integrasi yang berarti menyatupadukan; penggabungan atau penyatuan menjadi satu
kesatuan yang utuh; pemaduan. Adapun
secara terminologis, integrasi ilmu adalah pemaduan antara ilmu-ilmu yang terpisah menjadi satu
kepaduan ilmu, dalam hal ini penyatuan antara ilmu-ilmu yang bercorak agama
dengan ilmu-ilmu yang bercorak umum.
Integrasi ilmu
agama dan ilmu umum ini adalah upaya untuk meleburkan polarisme antara agama
dan ilmu yang diakibatkan pola piker pengkutupan antara agama sebagai sumber
kebenaran yang independen pula. Hal ini karena keberadaaanya yang saling
mem-butuhkan dan melengkapi.
2.
Implementasi
Integrasi
a. Level
filosofis
Integritas dan
interkoneksitas pada level filosofis dalam wacana keilmuan bahwa di dalamnya
harus diberikan nilai fundamental eksistensial dalam kaitannya dengan disiplin
keilmuan lain dan dalam hubungannya dengan nilai-nilai humanistik. Ilmu fiqh
misalnya, di samping makna fundamentalnya sebagai filosofi membangun hubungan
antara manusia, alam, dan Tuhan dalam ajaran Islam, dalam pengkajian fiqh harus
disinggung pula bahwa eksistensi fiqh tidaklah berdiri sendiri atau bersifat
self-sufficient, melainkan berkembang bersama sikap akomodatifnya terhadap
disiplin keilmuan lainnya seperti filsafat, sosiologi, psikologi, dan lain
sebagainya.
Pada level
filosofis dengan demikian lebih merupakan suatu penyadaran eksistensial suatu
disiplin ilmu selalu bergantung pada disiplin ilmu lainnya termasuk di dalamnya
agama dan budaya.
b. Level
Materi
Implementasi
integrasi dan interkoneksi pada level materi
dapat dilakukan dengan tiga model sebagai berikut.
Pertama, model
pengintegrasian ke dalam paket kurikulum, karena hal ini terkait dengan lembaga
penyelenggara pendidikan.
Kedua, model
penamaan disiplin ilmu yang menunjukan hubungan antara disiplin ilmu umum dan
keislaman. Model ini menuntut setiap nama disiplin ilmu mencantumkan kata
Islam, seperti ekonomi Islam, politik Islam, pendidikan Islam, filsafat Islam,
dan lain-lain.
Ketiga, model
pengintegrasian ke dalam pengajaran disiplin ilmu. Model ini menun-tut dalam
setiap pengajaran disiplin ilmu keislaman dan keagaam harus diinjeksikan
teori-teori keilmuan umum terkait sebagai wujud interkoneksitas antara
keduanya.
c. Level
Metodologi
Ketika sebuah
disiplin ilmu diintegrasikan atau diinterkoneksikan dengan disiplin ilmu lain,
misalnya psikologi dengan nilai-nilai Islam, misalnya psikologi dengan
nilai-nilai Islam, maka secara metodologis ilmu interkonektif tersebut harus
menggunakan pendekatan dan metode yang aman bagi ilmu tersebut.
d. Level
Strategi
Level strategi
adalah level pelaksanaan atau praktis dari proses pembelajaran keilmuan
integratif-interkonektif. Dalam konteks ini, setidaknya kualitas keilmuan serta
keterampilan pengajar menjadi kunci keberhasilan pembelajaran berbasis paradigm
interkoneksitas. Di samping kualitas-kualitas ini, pengajar harus difasilitasi
dengan baik sumber bacaan yang harus beragam serta bahan-bahan pengajaran di
kelas. Demikian pula pembelajaran dengan model pembelajaran active learning dengan berbagai strategi
dan metodenya menjadi keharusan.
3.
Integrasi
Ilmu : Sebuah Penelisikan Konsep dan Keniscayaan
Secara
bahasa integrasi berrati “penyatuan”. Suatu sikap yang melekat tiap bidang
kehidupan ini dalam kotak-kotak yang berlainan, namun dalam kenyataan sejarah
peradaban umat manusia sikap “ekspansionis” berlangsung secara massif dan
cenderung antagonistik. Menuurt M. Amin Abdullah (2016) integrasi adalah sebuah
paradigm keilmuan yang mengasumsikan bahwa peleburan dan pelumatan yang satu ke
dalam yang lainnya, baik dengan cara meleburkan sisi normativitas-sakralitas
keberagamaan secara menyeluruh masuk ke wilayah “historisitas-profanitas” atau
sebaliknya membenamkan dan meniadakan seluruhnya sisi historisitas keberagamaan
Islam ke wilayah normasivitas-sakralitas tanpa serve. Sedangkan dimaksud dengan “interkoneksi” adalah sebuah
pendekatan yang diberangkatkan dari sebuah asumsi bahwa setiap bangunan
keilmuan apa pun, baik keilmuan agama (termasuk agama Islam dan agama lainnya),
keilmuan sosial, humaniora, maupun kealaman tidak dapat berdiri sendiri. Oleh
karena itu kerja sama, saling tegur sapa, saling membutuhkan, saling koreksi
dan saling keterhubungan anatar displin keilmuan akan lebih dapat membantu
manusia memahami kompleksitas kehidupan yang dijalaninya dan memecahkan
persoalan yang dihadapinya.
Dengan
demikian “integrasi-interkoneksi” dapat dipahami merupakan sebuah pendekatan
yang berkeinginan dan mengupayakan bahwa antar berbagai bidang keilmuan
sesungguhnya memiliki keterkaitan. Saling keterkaitan ini merupakan sebuah
keniscayaan mengingat bahwa sesuatu yang dibidik oleh disiplin keilmuan objek
materialnya dapat saja sama meskipun objek formatnya berbeda. Oleh karena itu,
rasa superior, eksklusivitas yang berwujud dalam bentuk dikotomis-atomistis
terhadap bidang-bidang keilmuan yang dimaksud hanya akan merugikan diri sendiri
baik secara sosiologis, psikologis dan ilmiah-akademis. Bahkan tuntunan inheren
akan kajian sebuah ilmu dari perspektif agama telah menjadi kebutuhan.
Sasaran
utama integrasi-interkoneksi ini sesungguhnya tidak saja sebatas memutus
dikotomis-atomistis sains dan agama dan lebih memberdayakan fungsionalitas masyarakat
yang semakin deras berkembang, tetapi sesungguhnya ada sasaran epistemologis
yang hendak dicapai bagi ilmu-ilmu keislaman yaitu terus berkembang atas
desakan dari dalam dirinya (internal) satu sisi dan desakan dari luar
(eksternal) yang teramat mendesak lainnya sebuah pemikiran dan teori yang
solutif bagi keberlangsungan kehidupan umat manusia yang sangat terancam
sebagai hasil pemikiran dan teori modern selama ini pada sisi lain.dapat
dikatakan bahwa “integrasi-interkoneksi” merupakan sebuah keniscayaan bagi
sebuah keilmuan. Hal ini dikarenakan secara akademis inovasi dan progresi
bahkan pada sisi praksis revisi dan revitalisasi dari sebuah ilmu sangat
niscaya terjadi, sedemikian rupa ilmu pengetahuan termasuk ilmu keislaman
tentunya akan dapat menunjukkan eksistensialitas-fungsionalitasnya di
tengah-tengah kehidupan.
4.
Dialogis
Integrasi-Interkoneksi Antara Agama dan Sains: Sebuah Rasionalitas Keniscayaan
Metodologis
Untuk
memahami relasi “Integrasi-Interkoneksi” antara sains dan agama, terlebih
dahulu perlu dipahami dari makna sematik dari dua kata ini. Makna integrasi di
sini dapat dipahami dalam bentuk hubungan keterpaduan antara elemen-elemen
sains dan agama dalam sebuah kinerja penelitian atau pengembangan dalam
mengkaji sebuah realitas, sedangkan dimaksud dengan interkoneksi dapat dipahami
sebagai sebuah bentuk hubungan saling mengisi dan melengkapi anatara
elemn-elemen sains dan agama dengan maksud memeperkuat sebuah kinerja
penelitian dan pengembangan dalam mengkaji sebuah realitas.
Dengan
demikian, dimaksud dengan relasi “ Integrasi-Interkoneksi” sains dan agama
dalam tulisan ini nantinya adalah keniscayaan terpadunya sains dan agama dalam
kajian yang berdasarkan metode ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan atau
saling keterkaitan dan dialogis untuk saling mengisi antara sains dan agama.
Sasaran utama integrasi-interkoneksi adalah menghilangkan dikotomis sains dan
agama yang saat ini tengah berlangsung dalam wacana keilmuan, atau
mengeleminasi semaksimal mungkin dikotomis antara sains dana agama dalam kajian
ilmu pengetahuan.
Rasionalitas
keniscayaan “Integrasi-Interkoneksi” sains dan agama ini setidaknya dapat
disimak dari sebagaian hasil kajian para ilmuan semisal Ian G. Babour sebagai
berikut:
1.
Adanya kepararelan yang signifikan
dalam aspek metode sains dan agama. Keparlemenan ini setidaknya ditemukan
adanaya beberapa persamaan dalam wilayah interaksi pengalaman dan interpretasi,
penggunaan model dan analogi, dan peranan kelompok peneliti sains dan agama.
Keterlibatan si peneliti misalnya baik dalam sains dan agama diakui memang
berbeda dalam tingkatan, namun demikian sesungguhnya tidak ditemukan pemilihan
yang ketat tentang “objectivity” dan
“subjectivity”.
2.
Kesamaan pada upaya pencarian
sebuah pandangan dunia yang terintegrasi yakni sebuah pandangan dunia yang
terintegrasi yakni sebuah pandangan yang berbasis satu dunia (a single world) sebagaimana banyak
dimungkinkan oleh para ilmuan kontemporer saat ini. Diakui bahwa pencarian satu
dunia (a single world) tidak saja
sebagian dimotivasi oleh dorongan akademis yang kuat untuk berpikir koherensif
sebagai tuntutan kinerja akademis yang tidak bisa diabaikan begitu saja, juga
didorong oleh adanya implikasi dari sebuah keyakinan agama bahwa Tuhan itu maha
Pencipta dan Kuasa sedemikian rupa sebagian saintis melegitimasi dari lar
karya-karya mereka.
3.
Munculnya apa yang disebut dengan a theology of nature yakni suatu
pandangan dari ahli agama yang mengatakan bahwa tatanan alam ini adalah dalam
kerangka ide-ide teologis yang diambil dari hasil interpretasi kesejarahan
wahyu dan pengalaman agama.
4.
Temuan pandangan baru yang bersifat
saintifik akir-akhir ini tentang alam jagat raya oleh para saintis, langsung
ataupun tidak, akan memaksa mengkaji ulang pemahaman kita tentang hubungan
Tuhan dengan dunia ini dan atau hubungan manusia dengan alam jagat raya ini
sebagai bentuk implikasi dari kajian saintifik akhir-akhir ini.
Dapat
disimpulkan bahwa “integrasi-interkoneksi” sains dan agama lebih dipahami sebagai
saling mengisii dan berdialog anatara sains dan agama dalam menelaah suatu
realitas misalnya. Bukan dalam menyatukan dianatra keduanya karena anatara
sains dan agama memeliki elemen masing-masing yang tidak dapat disatukan.dalam
“inetgrasi-interkoneksi” uapaya relasi sains dan agama bukan ditunjukan untuk
mencampakan posisi dikotomis anatara sains dan agama, tetapi lebih pada nuansa
usaha membangun cara pandang dengan mengggunkaa tipe-tipe analisis dari konteks
yang berbeda., misalnyya pada persoalan mind dan brain cara pandang yang
diterapkan adalah bukan menempatkan dua hal itu pada posisi dua entitas yang
terpisah, tetapi mind dan brain dapat dipahami semacam peristiwa yang dapat
dilihat dari dua perspektif yakni dari dalam dan dari luar.
5.
Integrasi
Ilimu: Sebuah Upaya Islamisasi Sains ke dalam Ilmu
Integrasi
ilmu pada hal ini merupakn upaya untuk meredefinisi dan merekontruksi sains
dalam kerangka terminology ilmu dalam perspektif Islam tentunya. Melakukan
redefinisi dan rekontruksi seperti ini maka hasil yang diinginkan apa pun
bentuk implementasi pengembangnya akan selamanya berada dalam paradigm ilmu
dalam persfektif Islam. Sedemikian rupa siapa pun yang akan melakukan
penelitian dan penegmbangan ilmu serta pengguna ilmu akan sellau menyadari
bahwa Allah Swt. selalu merupakan dasar paradigmanya. Dengan demikian,
integrasi ilmu ini tidaklain adalah meredefinisi dan merekontruksi sains modern
dalam terminology ilmu perspektif Islam.
Upaya
seperti ini dapat dilakukan pada wilayah ontology, epistemology, maupun
aksiologi. Pada wilayah ontology metafisis adlaah dalam bentuk menalarkan
hakikat ilmu melampaui batas-batas fisiknya. Artinya, pencarian dan penafsiran
suatu ilmu dikehendaki sampai hakikat terdalam dari ilmu; Ilahi. Pada wilayah epistemology adalah dalam bentuk
memanfaatkan segala alat epistemic yang dikaui Islam; pendengaran, penglihatan,
akal dan fuad, merupakan anugerah Allah Swt. pada manusia, juga penafsiran dan
kesimpulan mesti menembus ke Ilahiyah-an. Penafsiran-penafsiran yang diambil
dan merupakan bagian terpenting dalam membangun sebah sains sungguh tidak
dihilangkan beitu saja, karena kesimpulan apapun yang diambil dari sebuah
penelitian pada dasarnya adalah hasil dari sebuah penafsiran.
Dalam
wilayah aksiologi adalah dalam bentuk menalarkan fungsi-fungsi etis sains dlaam
kehidupan manusia serta dapat pula membendung ekses negative sains. Untuk itu,
ketika sebuah sains akan dicipta dan dikembangkan tentu fungsi-fungsi
kemanfaatan etis baik yang sifatnya, personal, sosial, ekologial dan transdendental
menjadi bagian sanagt penting dalam proses pengembangan sains. Pertimbangan
fungsi-fungsi etis seperti isebutkan diatas menjadi penting tidak saja tuntutan
kondisimasyarakat dan sosial serta lingkungan yang sangat mendesak sat ini
namun fungsi-fugsi etis seperti ini sesungguhnya merupakan bagian yang tidak
dapat dipisahkan dari eksistensi manusia sebagai makhluk cultural, humanity, dan
morality. Dalam pemahaman seperti ini tentulah dikatakan bahwa ilmu
wataknya sangat memiak, memihak pada kebenaran di luar dirinya dan tujuan untuk
apa ilmu dikaji dan dikembangkan.
E.
Kesatuan
Ilmu
1.
Pengertian
Kesatuan Ilmu
Hakikatnya
semua ilmu berasal dari Allah Swt. dan manusia sebagai pelaksana di dunia. Ilmu
agama seperti ilmu fiqh, tauhid, hadist, dan tafsir disebut ilmu akhirat.
Se-dangkan ilmu sanis seperti biologi, fisika, kimia, dan kedokteran disebut
ilmu umum. Ilmu agama dan eksakta tidak dapat dipisah-pisahkan . hal ini
menunjukan adanya hubungan yang erat antara ilmu agama dan ilmu pengetahuan
diibaratkan simbiosis yang saling meng-untungkan.
2.
Implementasi
kesatuan Ilmu
Kesatuan
ilmu dapat diimplementasikan dalam kurikulum sebagai berikut.
a. Humanisasi
ilmu-ilmu keislaman yaitu merekonstruksikan ilmu-ilmu keislaman agar semakin
menyentuh dan memberi solusi bagi persoalan nyata kehidupan manusia Indonesia.
Strategi humanisasi ilmu-ilmu keislaman mencakup segala upaya untuk memadukan
nilai universal Islam dengan ilmu pengetahuan modern guna peningkatan kualitas
hidup dan peradaban manusia.
b. Spiritualisasi
ilmu pengetahuan yaitu memberikan pijakan nilai-nilai ketuhanan dan etika terhadap ilmu-ilmu sekuler untuk
memastikan bahwa pada dasarnya semua ilmu berorientasi pada peningkatan
kualitas/keberlangsungan hidup manusia dan alam semesta, bukan
penistaan/perusakan keduanya.
c. Revitalisasi local wisdom yaitu penguatan kembali
ajaran-ajaran luhur bangsa. Strategi local
wisdom terdiri dari semua usaha untuk tetap setia pada ajaran luhur budaya
lokal dan pengembangannya guna penguatan karakter bangsa.
BAB III
PENUTUP
A.
Simpulan
Filsafat
merupakan suatu ilmu untuk mencari kebenaran. Selain sebagai ilmu, filsafat
dapat dijadikan sebagai metode penelitian. Filsafat sebagai ilmu artinya
mencari kebenaran teori dari suatu pengetahuan. Sedangkan filsafat sebagai
metode menjelaskan langkah-langkah yang di dalamnya. Di dalam filsafat terdapat
fenomenologi. Fenomenologi ini pertama kali digunakan oleh Edmurd Hussel. Bagi
Husserl fenomena adalah data sejauh disadari atau sejauh masuk dalam pemahaman.
Fenomena tak mungkin lepas dari kesadaran atau dipisahkan dengan kesadaran.
Fenomena dan kesadaran adalah suatu kesatuan yang identik. Ada tiga macam
fenomenologi, yaitu reduksi fenomenologi, reduksi eiditis, dan reduksi
transdental.
Secara
etimologis, integrasi merupakan kata serapan dari bahasa Inggris –integrate; integration-yang kemudian diserap ke dalam bahasa Indonesia menjadi
integrasi yang berarti menyatupadukan; penggabungan atau penyatuan menjadi satu
kesatuan yang utuh; pemaduan. Dalam hal ini, menyatukan ilmu-ilmu yang bercorak
agama dan ilmu umum. Ilmu agama dan
eksakta tidak dapat dipisah-pisahkan . hal ini menunjukan adanya hubungan yang
erat antara ilmu agama dan ilmu pengetahuan diibaratkan simbiosis yang saling
menguntungkan.
DAFTAR
PUSTAKA
Lubis, Akhyar Yusuf. 2016. Filsafat Ilmu Klasik Hingga Kontemporer. Depok: Raja Grafindo Persada.
Sudarto..
Metodologi Penelitian Filsafat.
SMPDarussolihah.2017. Makalah Filsafat Integrasi. Diunduh di SMPDarussolihah.blogspot.com
pada tanggal 24 Maret 2017
UnityofScience. 2017. Paradigma Kesatuan Ilmu. Diunduh di unityofscience.org pada tanggal
24 Maret 2017
Komentar
Posting Komentar