EMBRIO FILSAFAT M. SYAHNAN NASUTION
UJIAN AKHIR
SEMESTER GANJIL
MUHAMAD SYAHNAN
NASUTION
Mata Kuliah : Filsafat Ilmu
Kelas : NR PB UNJ 2017
Dosen Penguji
: Prof. Dr. Aceng Rahmat, M.Pd
Dr. Siti Ansoriyah, M.Pd
PASCASARJANA UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA 2017
ANALISIS ALIH KODE DAN CAMPUR KODE DALAM NOVEL
9 SUMMERS 10 AUTUMNS DARI KOTA APEL KE THE BIG APPLE
KARYA IWAN SETYAWAN SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA DI SMA
9 SUMMERS 10 AUTUMNS DARI KOTA APEL KE THE BIG APPLE
KARYA IWAN SETYAWAN SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA DI SMA
Oleh
: Muhamad Syahnan Nasution
Pendidikan
Bahasa Pascasarjana Universitas Negeri Jakarta
Abstrak
Penelitian
ini bertujuan untuk mengetahui bentuk-bentuk alih kode dan campur kode pada
novel “ 9 Summers 10 Autumns Dari Kota
Apel Ke The Big Apple” karya Iwan Setywan, dan faktor- faktor yang
mempengaruhi terjadinya alih kode dan campur kode tersebut. Penelitian ini
menggunakan mtode deskriptif kualitatif, pada 36 judul bab novel “ 9 Summers 10 Autumns Dari Kota Apel Ke The
Big Apple” karya Iwan Setyawan.
Dari aspek filsafat ilmu suatu teori
atau pengetahuan dapat dikaji kebenarannya dengan mendasarkan pada tiga aspek,
yaitu : Ontologis, Epistemologis dan Aksiologis. Ontologi membahas masalah
obyek dari ilmu pengetahuan, Epistemologi membahas masalah proses untuk
memperoleh ilmu pengetahuan tersebut dan Aksiologi bekaitan dengan manfaat dari
ilmu pengetahuan tersebut.
Ilmu pengetahuan atau teori dikatan
benar bila memenuhi standar ketiga aspek tersebut. Tulisan ini membahas alih
kode dan campur kode dari kajian
Filsafat Ilmu, dengan melihat aspek ontologisnya, epistemologinya dan
aksiologinya.
Pendahuluan
1.1 Latar Belakang Masalah
Bahasa adalah sebuah alat komunikasi
yang digunakan oleh setiap individu, baik
manusia maupun binatang dan makluk hidup yang lainnya. Bahasa adalah
alat komunikasi yang sangat dibutuhkan dan memegang peranan penting sebagai
ekspresi jiwa yang ada. Tanpa adanya sebuah bahasa maka kita tidak akan bisa
berkomunikasi dan menukarkan pikiran kita dengan orang lain. Terutama bagi manusia. Bahasa sangat dibutuhkan dalam
proses interaksi untuk bertukar pikiran maupun saling menyamakan pendapat.
Manusia bukan makhluk individu
melainkan makhluk sosial yang di dalam kesehariannya membutuhkan bahasa sebagai
alat komunikasi. Bahasa memegang peranan yang sangat penting yaitu selain untuk
alat komunikasi juga sebagai alat untuk bertukar pendapat dan bertransaksi.
Tanpa sebuah bahasa maka manusia tidak akan mampu untuk berbuat banyak.
Bagaimana jika tidak ada bahasa, apakah kita bisa mengungkapkan kepada orang
lain tentang apa yang kita pikirkan. Negara Indonesia yang menggunakan bahasa
Indonesia sebagai alat komunikasi karena itu memang identitas sekaligus
kebanggaan bangsa Indonesia.
Nababan
berpendapat bahwa “sebuah komunikasi dapat berlangsung apabila bahasa yang
digunakan dapat dipahami sehingga pesan yang disampaikan dapat diterima.
Apabila seseorang ingin menyatakan maksud, baik kepada orang lain atau
diri sendiri maka sudah dapat dikatakan menggunakan komunikasi. Dalam
suatu masyarakat tidak mungkin dapat
berkomunikasi apabila anggota masyarakat tersebut tanpa menggunakan bahasa
sebagai media atau sarananya. Jika kita tidak mempunyai bahasa, kita tidak akan
bisa hidup sebagai mahluk sosial”.[1]
Dari uraian di atas sudah jelas
dikatakan bahwa bahasa memegang peranan yang sangat vital. Apabila kita ingin
sukses dalam berkomunikasi maka kita harus mampu menguasai bahasa yang
digunakan dalam berkomunikasi. Baik itu bahasa lisan, tulis maupun kode-kode
atau bahasa tubuh.Bahasa tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia.
Dimanapun ada manusia maka disitu juga akan ada komunikasi. Bahasa merupakan
ekspresi jiwa dari penuturnya.
Samsuri
berpendapat bahwa “Bahasa dapat
mengungkapkan aspek-aspek sosial yang dimiliki oleh lingkungan sosialnya.
Bahasa itu tidak terpisah oleh manusia dan selalu mengikuti di setiap
pekerjaanya, karena bahasa alat yang dipakai untuk membentuk pikiran, perasaan,
keinginan, dan perbuatannya”.[2]
Dalam kenyataannya manusia selalu
melakukan kegiatan komunikasi dari satu orang kepada orang lain. Hal ini
bertujuan untuk mendapatkan informasi dan selalu berusaha mencari sesuatu yang
dibutuhkan. Seperti halnya masyarakat yang berkomunikasi dalam bidang ekonomi,
budaya, agama dan bidang sosial yang lainnya. Melalui kegiatan sosial inilah
akan sangat besar peluang yang diperoleh para anggota masyarakat untuk
menggunakan bahasa sebagai alat komunikasinya.
Dengan adanya komunikasi dari satu
masyarakat ke masyarakat lain maka akan terciptalah kemampuan berbahasa yang
beraneka ragam. Rahardi berpendapat bahwa “ Dalam bidang bahasa, kenyataan
tersebut mengakibatakan semakin bervariasinya kode-kode yang dimiliki dan
dikuasai oleh anggota masyarakat itu”.[3] Sebagai
bukti kemajemukan masyarakat dalam bidang bahasa yaitu terdapat banyak individu
yang memiliki dan menguasai banyak
bahasa (multilingual) atau sedikitnya dua bahasa (bilingual).
Berkaitan dengan penguasaan dalam
menggunakan bahasa maka dalam hal ini Peneliti membahas tentang pemakaian dua
bahasa atau bilingual. Rahardi berpendapat bahwa “Perkodean sebenarnya meliputi
berbagai hal, misalnya campur kode, interferensi, integrasi kode, alih kode,
dan sebagainya”[4].
Karena terdapat banyak kemampuan bilingualisme maka peneliti akan menitik
beratkan pada campur kode. Terutama tentang campur kode bahasa Inggris yang
terdapat dalam novel ”9 Summers 10
Autumns Dari Kota Apel ke The Big Apple ” karya Iwan Setyawan. Ragam bahasa
yang muncul karena pengaruh sosial budaya yang ada dalam masyarakat.
Dengan adanya fakta bahwa dalam
novel ” 9 Summers 10 Autumns Dari Kota
Apel ke The Big Apple ” karya Iwan Setyawan terdapat campur kode bahasa
Inggris maka penulis merasa tergugah untuk menelusuri lebih lanjut tentang penggunaan campur kode tersebut. Rahardi berpendapat bahwa “Sosioliguitik
mengkaji bahasa dengan memperhitungkan hubungan antara bahasa dengan
masyarakat, khususnya masyarakat penutur bahasa itu”[5].
Sosioliguitik mempertimbangkan keterkaitan antar dua hal, yakni dengan
linguistik untuk segi kebahasaannya, dan sosiologi untuk segi
kemasyarakatannya. Novel ” 9 Summers 10
Autumns Dari Kota Apel ke The Big Apple”
ini banyak menggunakan campur kode bahasa Inggris. Dengan ini maka novel ” 9 Summers 10 Autumns Kota Apel ke The Big
Apple” karya Iwan Setyawan dijadikan narasumber bagi penulis untuk
dijadikan sebuah penelitian dengan menggunakan campur kode sebagai pokok permasalahannya.
1.2 Kajian Ontologis.
Sebagaimana ditekankan dalam aspek
ontologis, yaitu tentang hakikat apa yang dikaji dari suatu ilmu, maka uraian
diatas yang membahas tentang teori alih kode dan campur kode telah memberikan
hakekat dasar, seperti definisi, demensi hubungan teori alih kode dan campur
kode dengan obyeknya ( Dalam novel 9
Summers 10 Autumns dari kota apel ke the big apel karya Iwan Setyawan), dan
perkembangan teori tersebut.
Secara ringkas kajian ontologis
teori alih kode dan campur kode :
Hakikat Alih Kode
dan Campur Kode
Di
dalam studi sosiolinguistik yang mempelajari bahasa dan masyarakatnya, terdapat
apa yang disebut alih kode. Kode adalah sebuah istilah netral yang mengacu pada
bahasa ( seperti bahasa Indonesia, bahasa Inggris, bahasa Jepang ), variasi
bahasa / dialek ( seperti bahasa Jawa dialek Banyumas atau dialek Solo
),variasi kelas sosial / sosiolek ( seperti bahasa Jawa halus dan kasar ),
ragam bahasa ( bahasa sopan, gaya hormat, atau gaya santai ), dan kegunaan /
register (bahasa pidato, bahasa lawak, dan lain- lain ). Menurut Mansoer
Pateda, kode merupakan lambang atau sistem ungkapan yang dipakai untuk
menggambarkan makna tertentu. Bahasa manusia adalah sejenis kode.[6]
Seseorang yang melakukan pembicaraan, sebenarnya ia telah mengirim kode- kode
kepada lawan bicaranya atau pendengarnya. Antara kode yang dilakukan oleh
penutur maupun lawan bicaranya harus dimengerti oleh kedua belah pihak. Kalau
satu pihak tidak memahami apa yang dikodekan, maka dapat dikatakan bahwa
komunikasi tidak ada. Bila satu pihak memahami apa yang dikodekan oleh lawan
bicaranya, maka ia pasti akan mengambil keputusan dan tindakan sesuai apa yang
harus dilakukan.[7]
Kode terbagi atas alih kode dan campur kode.
Menurut
seorang ahli, Apple, alih kode adalah gejala peralihan pemakaian bahasa karena
berubahnya situasi.[8]
Dalam alih kode masing- masing bahasa masih cenderung mendukung fungsi masing-
masing dan masing- masing fungsi sesuai dengan konteksnya. Pada contoh berikut
ini : Amir dan Alung yang sedang bercakap- cakap dalam bahasa Sunda, langsung
mengalihkan pembicaraanya ke dalam bahasa Indonesia saat Chiko yang tidak
megerti bahasa Sunda datang, tujuannya agar mereka bertiga bisa terlibat
pembicaraan bersama- sama. Pada situasi tersebut alih kode dari bahasa Sunda ke
bahasa Indonesia perlu dilakukan, karena sangat tidak pantas bila Amir dan
Alung tetap berbahasa Sunda sedangkan rekannya yang lain tidak mengerti apa
yang dibicarakan, padahal ia perlu ikut terlibat dalam pembicaraan tersebut.
Pada contoh di atas dapat dilihat bahwa peralihan penggunaan bahasa karena
berubahnya situasi terjadi dengan datangnya Chiko yang menyebabkan percakapan
dalam bahasa Sunda dialihkan menjadi bahasa Indonesia.
Ada
pula ahli- ahli lain yang mengemukakan pendapat mengenai pengertian alih kode.
Paul Ohoiwutun menyatakan bila dalam suatu peristiwa tutur terjadi peralihan
pemakaian dari satu bahasa atau dialek ke bahasa atau dialek lainnya. Maka
telah terjadi alih kode pada peristiwa tersebut.[9]
Menurut Thelender bila dalam suatu perisiwa terjadi peralihan dari satu klausa
suatu bahasa ke klausa bahasa lain, maka peritiwa yang terjadi adalah alih
kode.[10]
Ahli lainnya, Hymes, mengatakan alih kode bukan hanya terjadi antara bahasa,
melainkan juga terjadi antara ragam- ragam bahasa dan gaya bahasa yang terdapat
dalam satu bahasa.[11]
Fasold (1984) menyebutkan apabila satu klausa jelas- jelas memiliki struktur
gramatika satu bahasa, dan klausa berikutnya disusun menurut struktur gramatika
bahasa lain, maka peristiwa yang terjadi adalah alih kode.[12]
Dalam
berbagai kepustakaan linguistik secara umum, penyebab terjadinya alih kode
antara lain : (1) Pembicara atau penutur, (2) Pendengar atau lawan tutur, (3)
Perubahan situasi dengan hadirnya orang
ketiga, (4) Perubahan formal ke informal atau sebaliknya, (5) Perubahan
topik pembicaraan.[13]
Berikut ini penjelasannya :
(1) Pembicara atau Penutur
Pembicara atau penutur bisa
meyebabkan terjadinya alih kode. Seseorang penutur kadang dengan sengaja
beralih kode terhadap lawan tutur karena satu tujuan. Misalnya mengubah situasi
dari resmi menjadi tidak resmi atau sebaliknya. Biasanya penutur melakukan alih
kode untuk mendapatkan keuntungan atau manfaat dari tindakannya itu.
Pembicaraan menggunakan bahasa daerah sering dilakukan dengan sengaja suasana
terasa akrab, karena dalam hal ini penutur dan lawan tuturnya memiliki rasa
kesukuan yang sama. Alih kode juga dilakukan oleh penutur yang dalam peristiwa
tutur itu mengharapkan bantuan lawan-lawan tuturnya.[14]
(2)
Pendengar atau Lawan tutur
Pendengar atau lawan tutur dapat
menyebabkan terjadi alih kode, misalnya karena si penutur ingin mengimbangi
kemampuan berbahasa si lawan tutur tersebut. Biasanya kemampuan berbahasa si
lawan tutur kurang atau agak kurang karena memang mungkin bukan bahasa
pertamaya,
maksudnya tidak terlalu menguasai bahasa yang dituturkan oleh si penutur
bahasa.
Bila lawan tutur berlatar belakang bahasa yang sama
dengan si penutur, maka alih kode yang terjadi hanya berupa peralihan varian (
baik regional maupun sosial), ragam gaya, atau register. Kalau si lawan tutur
berlatar belakang bahasa yang tidak sama dengan si penutur, maka yang terjadi
adalah alih bahasa.[15]
Misalnya,
si penutur menguasai bahasa Indonesia dan bahasa Inggris, sedangkan lawan tutur menguasai bahasa Inggris dan
hanya sedikit bahasa Indonesia, sehingga kemampuan berbahasa Indonesianya tidak telalu lancar. Oleh karena
itu, lawan tutur dapat menyebabkan penutur melakukan alih kode yang bertujuan
untuk membuat pembicaraan menjadi lebih
lancar.
(3)
Perubahan Situasi dengan Hadirnya Orang ketiga.
Untuk menetralisasi situasi dan
menghormati mitra tutur ketiga, biasanya penutur dan lawan tutur beralih kode,
apalagi bila latar belakang kebahasaan mereka berbeda. Status orang ketiga
menentukan bahasa atau varian yang harus digunakan.[16]
Bila dalam sebuah percakapan menggunakan bahasa Sunda, tiba- tiba datang orang
ketiga yang tidak menguasai bahasa Sunda, tapi perlu ikut terlibat dalam
pembicaraan mereka, maka jalan yang harus dilakukan adalah melakukan alih kode
ke dalam bahasa yang dikuasai oleh semuanya, yaitu bahasa Indonesia.
(4)
Perubahan dari Situasi Formal ke Informal atau Sebaliknya.
Perubahan
situasi bicara dapat menyebabkan terjadinya alih kode. Perubahan tersebut bisa
dari situasi formal ke informal atau sebaliknya. Pembicara dalam situasi formal
biasanya menggunakan bahasa Indonesia dengan ragam resmi, namun bila
pembicaraan berubah menjadi tidak formal maka pembicara dapat beralih ke bahasa
Indonesia ragam santai, atau bahkan ke bahasa daerah yang sama, misalnya bahasa
Jawa. Bagaimanapun untuk situasi tak resmi lebih mudah menggunakan bahasa
pertama daripada bahasa kedua, kalau situasi mengizinkan.
(5)
Perubahan Topik Pembicaraan
Pokok
pembicaraan atau topik merupakan faktor yang dominan dalam menentukan terjadiya
alih kode. Pokok pembicaraan yang bersifat formal biasanya diungkapkan dengan
ragam baku, dengan gaya netral dan serius, dan pokok pembicaraan yang bersifat
informal disampaikan dengan bahasa yang tidak baku, gaya sedikit emosional, dan
serba seenaknya. Misalnya pembicaraan antara dua orag mengenai suatu hal yang
formal, maka mereka menggunakan bahasa Indonesia ragam santai atau bahkan
menggunakan bahasa daerah ( bila penutur memiliki bahasa ibu yang sama). Jadi,
penyebab alih kode dalam kasus percakapan tersebut adalah berubahnya situasi
dari formal ke situasi tidak formal.
Dari
pendapat para ahli yang telah disebutkan di atas dapat disimpulkan bahwa dalam
alih kode setiap bahasa atau ragam bahasa yang digunakan itu masih memiliki
fungsi otonomi masing-masing, dilakukan dengan sadar dan sengaja dengan sebab-
sebab tertentu. Dengan kata lain, pada alih kode adalah klausa. Selain berupa
klausa, alih kode dapat juga berupa kalimat.
Bila
pada alih kode terjadi peralihan dari satu klausa ke bahasa lain secara penuh.
Pada campur kode tidak seperti itu, melainkan hanya menyisipkan unsur- unsur
bahasa lain saja, yang dapat berupa kata atau frase. Abdul Chaer menyatakan :
“
Dalam sebuah kode ada sebuah kode utama atau kode dasar yang digunakan dan
memiliki fungsi dan keotonomiannya sedangkan kode-kode lain yang terlibat dalam
peristiwa itu hanyalah berupa serpihan- serpihan (pieces) saja, tanpa fungsi atau keotonomian sebagai sebuah kode”.[17]
Jadi
campur kode terjadi apabila seseorang penutur bahasa, misalnya penutur bahasa
Indonesia memasukan unsur- unsur bahasa daerahnya ke dalam pembicaraan bahasa
Indonesia. Kata lain, seeoarang yang berbicara bahasa Indonesia memiliki fungsi
keotonomiannya, sedangkan kode bahasa daerah yang terlibat dalam kode utama
merupakan serpihan saja tanpa fungsi atau keotonomian sebagai sebuah kode. Paul
Ohoiwutun mendefinisikan campur kode sebagai penggunaan lebih dari satu bahasa
atau kode dalam satu wacana menurut pola- pola yang belum jelas.[18]
Nababan menyatakan :
“Campur kode merupakan keadaan
berbahasa lain bilamana orang mencampur 2 atau lebih bahasa atau ragam dalam
suatu tindak bahasa ( speech act atau
disourse) tanpa ada sesuatu dalam situasi berbahasa itu yang menuntut
pencampuran bahasa itu sendiri”.[19]
Ada
juga ahli lain yang mengemukakan pendapat mengenai campur kode, Thelender,
menyatakan :
“ Apabila dalam suatu peristiwa
tutur, klausa- klausa maupun frase- frase yang digunakan terdiri dari klausa
atau frase campuran ( hybrid clause, hybrid
pharses), dan masing- masing klausa atau frase itu tidak lagi mendukung
fungsi sendiri- sendiri, maka peristiwa yang terjadi adalah campur kode”.[20]
Sedangkan menurut Julie Weisenberg, dalam bukunya Simultanous Code Mixing in American Language Sign Interpretaion,
ada 5 alasan mengapa seseoang melakukan campur kode, yaitu : (1) Sebagai tanda
keanggotaan grup tetentu, (2) ketidakmampuan untuk mencari padanan katanya
dalam suatu bahasa, (3) hubungan suatu bahasa dengan topik yang dibicarakan,
(4) mengucilkan seseorang dari pembicaraan, (5) untuk menunjukan otoritas.[21]
Berikut ini adalah penjelasannya :
(1)
Sebagai tanda keanggotaan grup tertentu.
Penutur
sering melakukan campur kode sebagai tanda keanggotaan grup tertentu. Maksudnya
untuk menunjukan identitas seseorang, menunjukan status sosial, intelektual.
Biasanya penutur yang melakukan campur kode dengan bahasa asing dapat
dikategorikan sebagai orang terpelajar.
(2) ketidakmampuan untuk mencari
padanan katanya dalam suatu bahasa.
Penutur
sering melakukan campur kode karena ketidakmampuan untuk mencari padanan
katanya dalam suatu bahasa. Karena merasa kesulitan untuk mencari padanan kata
yang tepat atau mungkin belum ada dalam suatu bahasa, misalnya bahasa
Indonesia, maka seorang penutur melakukan campur kode dengan bahasa Inggris
atau bahasa lainnya. Contohnya istilah komputer dan flashdisk yang belum ada
padanannya dalam bahasa Indonesia, maka istilah- istilah ini yang tetap
digunakan.
(1) Hubungan
suatu bahasa dengan topik yang dibicarakan.
Penutur
melakukan campur kode karena ada hubungan antara suatu bahasa dengan topik yang
dibicarakan, misalnya dalam teknologi komputer, seringkali bahasa inggris lebih
disukai karena banyak bahasa pemrograman yang menggunakan bahasa ini.
(2) Mengucilkan
seseorang dari pebicaraan.
Penutur
sering melakukan campur kode secara sengaja untuk tujuan mengucilkan seseorang dari
pembicaraan. Kadang- kadang dalam suatu percakapan digunakan kata- kata bahasa
asing supaya pihak ketiga tidak tahu apa yang dibicarakan.
(3) Untuk
menunjukan otoritas
Penutur
bahasa melakukan campur kode untuk menunjukkan otoritas mereka. Contohnya, pada
zaman dahulu orang- orang Belanda sering menggunakan bahasa Belanda untuk
menunjukkan superioritas mereka atas orang Indonesia.
Dalam
Musyken (2001), campur kode mengalami beberapa proses, yaitu : (1) memasukan
materi tertentu ( kata-kata maupun frase- frase ) dari suatu bahasa ke struktur
bahasa lain, (2) struktur yang bergantian antara bahasa- bahasa , (3)
penyerapan kata dari kosa kata bahasa yang berbeda menjadi satu struktur tata
bahasa yang sama.[22]
Peristiwa yang memperlihatkan gejala campur kode dapat dilihat pada saat orang
berbincang-bincang, lalu mereka mencampur bahasa Indonesia dengan bahasa daerah
atau bahasa asing tertentu. Prinsip sederhana dalam campur kode ialah kata dan
frase dalam bahasa asing digunakan dalam konstruksi bahasa asal. Misalnya kata
dan frase dalam bahasa Inggris yang digunakan dalam konstruksi bahasa
Indonesia, atau bisa juga sebaliknya, contohnya tampak dalam percakapan
berikut:
Frey
seorang mahasiswa pertukaran pelajar dari Inggris sedang membesuk temannya
Dyna, orang Indonesia asli.
Fray : “Dyna, how are you? Kamu sudah sembuh
belum?”
Dyna
: “ Sudah better nih. Thank’s ya
sudah besukin aku”.
Fray : “ It’s
okay. Kapan kamu masuk kuliah?”
Dyna
: “ Mungkin next week ya. Aku disuruh
bedrest dulu sama dokter”.
Dari percakapan tersebut, tampak
Frey dan Dyna menggunakan bahasa Indonesia ragam santai dengan sesekali
menyelipkan bahasa Inggris dalam perakapan mereka. Dalam hal ini telah terjadi
campur kode, karena Frey dan Dyna menggunakan satu bahasa , yaitu bahasa
Inggris. Contoh lain misalnya sesorang yang berbahasa Indonesia dengan sesekali
menyelipkan bahasa Sunda atau bahasa Jawa, sehingga menjadi bahasa Indonesia
yang kejawa-jawaan atau bahasa Indonesia yang kesunda-sundaan. Biasanya hal ini
dilakukan oleh para penutur dalam situasi yang tidak resmi atau situasi santai.
Dari pendapat beberapa ahli mengenai
campur kode tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa dalam campur kode
yang terjadi adalah penggunaan satu bahasa yang di dalamnya terdapat serpihan-
serpihan dari bahasa lain, yang wujudnya dapat berupa kata dan frase. Jadi,
batasan campur kode adalah kata dan
frase.
Dalam
landasan ontologis, Suriasumantri (1999 : 89) menyatakan bahwa salah satu aspek
penting adalah pengembangan asumsi, dengan memperhatikan dua hal, yaitu: 1)
Asumsi harus sesuai dengan bidang dan tujuan pengkajian disiplin keilmuan, 2)
asumsi harus disimpulkan dari keadaan sebagaimana adanya.
1.3 Kajian Epistemologi
Dalam aspek epistemologis ditekankan pada "Bagaimana mendapatkan
pengetahu-an yang benar?". Untuk menjawab pertanyaan tersebut, maka
ilmu,teori maupun pengetahuan harus didapatkan melalui metode ilmiah.
Peter Senn (1971), Huxley (1964) sebagaimana dikutip oleh Suriasumantri
(1999: 119) menyatakan bahwa metode ilmiah merupakan prosedur atau
cara mengetahui sesuatu yang mempunyai langkah-langkah sistematis dalam
mendapatkan pengetahuan yang disebut ilmu, dan metode ilmiah
merupakan ekspresi mengenai cara bekerjanya pikiran. Dengan cara bekerja ini
maka pengetahuan yang dihasilkan diharapkan mempunyai karakteristik tertentu
yang diminta oleh pengetahuan ilmiah, yaitu sifat rasional dan teruji, yang
memungkinkan bahwa pengetahuan yang disusun merupakan pengetahuan yang dapat
diandalkan. Dalam hal ini maka metode ilmiah mencoba menggabungkan cara
berfikir deduktif dan cara berfikir induktif dalam membangun pengetahuan
tersebut.
Dalam konteks epistemologi khususnya dalam metode ilmiah perlu dikembangkan
konsep positivisme yang berarti ilmu yang valid adalah ilmu
yang dibangun dari empirik . Filsafat positivisme berusaha
menyusun bangunan ilmu secara nomothetikyaitu ilmu yang berupaya
membuat hukum dari generalisasinya. Kebenaran dicari lewat hubungan kausal
linier, tiada akibat tanpa sebab, dan tiada sebab tanpa akibat. Positivisme
mempunyai slogan yang tekenal yaitu "savoir pour prevoir, prevoir pour
pouvoir" yang artinya dari ilmu muncul prediksi, dan dari prediksi
muncul aksi (Triyono; 2003 : 12). Teori kebenaran yang dianut positivisme
termasukteori korespondensi (Muhadjir : 2000 : 13 – 14). Teori
korespondensi menyebutkan bahwa suatu pernyataan adalah benar jika terdapat
fakta-fakta empiris yang mendukung pernyataan tersebut (Susiasumanrtri : 1999:20)
Atau dengan kata lain, suatu pernyataan dianggap benar apabila materi yang
terkandung dalam pernyataan tersebut bersesuaian (korespodensi)) dengan obyek
faktual yang ditunjuk oleh pernyataan tersebut.
Analisis Alih Kode
Berupa Klausa
Batasan
alih kode adalah berupa penggunaan klausa merupakan tataran di dalam sintaks
yang berada di atas tataran frase dan di bawah tataran kalimat. Menurut Abdul
Chaer, klausa adalah satuan sintaksis berupa runtunan kata- kata berkonstruksi
predikat.[23]
Artinya, pada konstruksi tersebut terdapat kata atau frase yang berfungi
sebagai subjek, objek atau keterangan. Menurut ahli lainnya, Ramlan, klausa
adalah suatu bentuk linguistik yang terdiri atas subjek dan predikat.[24]
Jadi, dapat dikatakan bahwa dalam sebuah klausa fungsi subjek dan predikat
wajib ada. Klausa juga berpotensi untuk menjadi sebuah kalimat tunggal, karena
di dalamnya terdapat fungsi sintaksis tadi, yaitu subjek dan predikat.
Berdasarkan
strukturnya, klausa dibedakan atas :
(1) Klausa
bebas, unsur- unsur yang ada dalam klausa bebas paling sedikit adalah S (
subjek) dan P ( predikat).
(2) Klausa
terikat adalah klausa yang memiliki sturktur
tidak lengkap, unsur yang ada dalam klausa ini mungkin hanya subjek saja
atau objek saja, atau hanya berupa keterangan saja.
Berdasarkan
kategori kata pengisi predikat, klausa dapat dibedakan atas :
(1) Klausa nominal, yaitu klausa yang predikatnya
berupa nomina atau frase nominal.
(2) Klausa verbal, yaitu klausa yang predikatya
berkategori verba atau frase verbal.
(3) Klausa
ajektival, yaitu klausa yang predikatnya berkategori ajektiva baik berupa kata
maupun frase.
(4) Klausa
adverbial, yaitu klausa yang predikatnya berupa kata atau frase adverbial.
(5) Klausa
preposisional, yaitu klausa yang predikatnya berupa kata atau frase yang
kategorinya preposisi.
(6) Klausa
numerial, yaitu klausa yang predikatnya berupa kata atau frase numeralia.
Berdasarkan ada
atau tidaknya bentuk negatif pada predikat, klausa dibedakan atas :
(4) Klausa
positif, yaitu klausa yang tidak memiliki kata- kata yang menyatakan negatif.
(5) Klausa
negatif, yaitu klausa yang memiliki kata- kata negatif yang secara gramatik
menegatifkan predikat, antara lain kata tidak, tak, bukan, belum, dan jangan.
Analisis Alih Kode Berupa Kalimat
Alih
kode selain dapat berupa klausa, dapat juga berupa kalimat menurut Abdul Chaer,
kalimat adalah satuan sintaksis yang disusun dari konstituen dasar yang
biasanya berupa klausa. Dilengkapi dengan konjungsi bila diperlukan, dan
disertai intonasi final.[25]
Konstituen dasar itu biasanya berupa klausa. Jadi, bila sebuah klausa diberi
intonasi final, maka akan terbentuk sebuah kalimat. Ahli lainnya, Hasan Alwi,
dkk menyatakan bahwa kalimat merupakan konstruksi sintaksis terbesar yang
terdiri atas dua kata atau lebih.[26]
Karena terdiri atas dua kata atau lebih, maka kalimat terdiri atas frase dan
klausa.
Jenis-
jenis kalimat terdiri atas :
(1) Berdasarkan
jumlah klausanya dalam kalimat dapat dikategorikan atas :
a. Kalimat
tunggal : bila sebuah kalimat hanya terdiri dari satu klausa.
b. Kalimat
majemuk : bila sebuah kalimat itu terdapat lebih dari satu klausa.
(2) Berdasarkan
pembentukan kalimat dari klausa inti dan perubahannya, terdiri atas :
a. Kalimat
inti atau kalimat dasar : adalah kalimat yang dibentuk dari klausa inti yang
lengkap bersifat deklaratif, aktif atau netral, dan afirmatif.
b. Kalimat
non-inti : kalimat inti yang mengalami proses transformasi seperti penaifan,
pengingkaran, penanyaan, pemerintahan, penginversian, pelepasan, dan
penambahan.
(3) Berdasarkan
struktur klausanya dapat dikategorikan atas :
a. Kalimat
mayor : bila sebuah kalimat klausanya lengakap, sekurang-kurangnya memiliki
unsur subjek dan predikat.
b. Kalimat
minor : bila sebuah kalimat klausanya tidak lengkap entah hanya terdiri dari
subjek saja, predikat saja, objek saja, atau keterangan saja.
(4) Berdasaran
jenis klausanya dapat dikategorikan atas :
a. Kalimat
verbal : adalah kalimat yang dibentuk dari klausa verbal, atau kalimat yang
predikatnya berupa kata atau frae yang berkategori verba.
b. Kalimat
non-verbal : adalah kalimat yang predikatnya bukan kata atau frase verbal; bisa
nominal, ajektival, adverbal, atau juga numeralia.
(5)
Berdasarkan
fungsi kalimat sebagai pembentuk paragraf maka terdiri atas :
a. Kalimat
bebas : adalah kalimat yang mempunyai potensi untuk menjadi ujaran lengakap,
atau dapat memulai sebuah paragaf atau
wacana tanpa bantuan kalimat atau konteks lain yang menjelaskannya.
b. Kalimat
terikat : adalah kalimat yang tidak dapat berdiri sendiri sebagai ujaran
lengkap, atau menjadi pembuka paragraf atau wacana tanpa bantuan konteks lain.
Analisis Campur Kode
Berupa Kata
Batasan
campur kode adalah berupa serpihan kata. Menurut Abdul Chaer, kata merupakan
satuan terkecil yang secara hierarkial menjadi komponen pembentuk sintaksis
yang lebih besar,yaitu frase.[27]
Kata terbagi atas kata penuh dan kata tugas. Kata penuh adalah kata- kata yang
termasuk kategori nomina ( kata benda ), verba ( kata kerja ), ajektival ( kata
sifat ), adverbial ( kata keterangan ), dan numeralia ( kata bilangan ). Yang
masing- masing memiliki makna leksikal dan dapat berdiri sendiri, sedangkan
yang termasuk kata tugas adalah kata- kata yang berkategorikan preposisi ( kata
depan), konjungsi ( kata sambung ),
demonstrativa ( kata penunjuk ), interjeksi ( kata seru ), dan partikel.
Analisis Campur Kode
Berupa Frase
Campur kode selain berupa serpihan kata, dapat juga
berupa frase. Ahmad HP mendefinisian frase sebagai satuan gramatikal yang
berupa gabungan dua kata atau lebih yang bersifat nonpredikat.[28]
Menurut Abdul Chaer, frase lazim juga disebut gabungan kata yang mengisi salah
sau fungsi sintaksis di dalam kalimat.[29]
Frase itu pasti terdiri lebih dari sebuah kata.
Jenis-
jenis frase :
Berdasarkan
unsur pembentuknya, terbagi atas :
1) Frase
yang unsurnya berupa kata, misalnya pasar itu.
2) Frase
yang unsurnya berupa frase, misalnya frase baju baru dan frase anak
itu dalam frase baju baru anak itu.
Berdasarkan
distribusinya dalam kalimat, terbagi atas :
1) Frase
edosentris, yaitu frase yang keseluruhan komponennya mempunyai perilaku
sintaksis yang sama dengan perilaku komponennya.
2) Frase
eksosentris, yaitu frase yang sebagian atau seluruh komponennya tidak memiliki perilaku sintaksis
yang sama dengan keseluruhan komponennya.
Berdasarkan
kelas katanya, terbagi atas :
1) Frase
nomina, yaitu frase yang memiliki distribusi sama dengan kata nominal ( benda).
2) Frase
verbal, yaitu frase yang memiliki distribusi sama dengan kata verbal (kerja ).
3) Frase
ajektival, yaitu frase yang memiliki distribusi sama dengan kata ajektival (
sifat ).
4) Frase
bilangan, yaitu farse yang memiliki distribusi sama dengan kata bilangan.
5) Frase
keterangan, yaitu frase yang memiliki distribusi sama dengan kata keterangan.
6) Frase
depan, yaitu sebagai penanda diikuti
oleh kata/ frase nominal, verbal, atau keterangan sebagai penandanya.
1.4 Kajian
Aksiologi
Aspek aksiologis dalam filsafat ilmu
berusaha menjawab pertanyaan "Untuk apa pengetahuan atau ilmu
pengetahuan digunakan?". Suriasumantri (1999 : 249) menyatakan
bahwa pengetahuan harus digunakan untuk kemaslahatan manusia.
Berdasarkan
teori penelitian di atas,
maka alih kode dan campur kode pada novel 9 Summers 10 Autumns Dari
Kota Apel Ke The Big Apple”. Karya Iwan Setyawan yang terdiri dari 36 judul bab
tersebut, dapat diimplikasikan oleh
penulis, yang akan membuat cerita
( narasi ) atau novel yang di dalamnya terdapat bentuk-bentuk alih kode
dan campur kode. Penggunaan bahasa daerah, bahasa asing, dan bahasa ragam
santai atau bahasa sehari- hari dapat memberikan penyegaran atau variasi pada
sebuah cerita ( narasi ) atau novel agar tidak terkesan kaku dan monoton karena
hanya menggunakan satu bahasa saja.
Dalam prosesnya, memberikan
variasi bahasa dalam menulis sebuah cerita ( narasi ) atau novel dengan cara
mengalih kode dan mencampur kjode merupakan kegiatan yang sah- sah saja, tapi
harus diperhatikan juga bahwa tidak semua pembaca mempunyai tingakat pendidikan
dan tingkat penguasaan bahasa yang sama. Langkah untuk menginplikasikannya
adalah dengan cara memilih kata-kata yang tepat, memperhatikan keperluan
penggunaan kata-kata itu sendiri apakah memang harus menggunakan bahasa asing,
bahasa daerah, atau bahasa sehari-hari, juga disesuaikan dengan segmentasi
pembaca, agar tidak terjadi salah penafsiran atau salah penggunaan kata-kata.
Misalanya dengan cara mencari
padanan kata yang berasal dari bahasa asing, bahasa daerah, maupun bahasa
sehari-hari tersebut dengan bahasa Indonesia, contohnya untuk kata handphone diganti
dengan kata telepon genggam, kata okey
diganti dengan kata baik, dan lain-lain. Tentu saja disesuaikan dengan
ketepatan penggunaannya, karena bila tidaka memungkinkan untuk dicari padanan
katanya, maka kata-kata yang berasal dari bahasa asing, bahasa daerah, maupun
bahasa sehari-hari tersebut dapat dikelompokkan dalam beberapa katagori,
misalnya untuk kata sapaan, atau kata-kata yang mewakili pengertian tertentu,
lalu dilampirkan dalam cerita ( narasi ) atau novel dengan dituliskan artinya,
untuk memudahkan pembaca dalam memahami sebuah cerita ( narasi ). Langkah ini
bertujua untuk menghindari terjadinya ambiguitas atau kerancuan bagi pembaca.
Alih
kode dan campur kode dapat digunakan sesuai keperluannya dengan tetap
memperhatikan kaidah tata bahasa, agar alih kode dan campur kode yang muncul
sesuai denan maksud penggunaannya dan tidak memunculkan ambiguitas. Penulis
tetap dapat memunculkan alih kode dan campur kode dalam tulisan selama terdapat
kepentingan yang membuat alih kode an campur kode tersebut harus dimunculkan,
misalnya saja terkait dengan istilah teknis tertentu yang tidak ada padanannya
dalam bahasa Indonesia.
KESIMPULAN
Filsafat
ilmu merupakan telaah secara filsafat tentang ilmu atau pengetahuan. Dalam
filsafat ilmu setiap ilmu , pengetahuan ataupun teori dapat dikaji atau
ditelaah dari aspek ontologi, epistemologi dan aksiologi, dan
ketiga aspek ini menjadi landasan suatu ilmu untuk berkembang. Tujuannya adalah
untuk mengembangkan disiplin ilmu dengan penuh tanggung jawab dan
sungguh-sungguh sehingga bermanfaat untuk masyarakat dan untuk pengembangan
ilmu itu sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Chalmers, AF (1983), Apa itu yang dinmakan
ilmu?, Penerbit Hasta Mitra, Jakarta.
Muhadjir,
Noeng (2000), Metodologi Penelitian Kualitatif ,Edisi
IV, Penerbit Rake Sarasin, Yogyakarta.
Suriasumantre,Jujun,S
(1999) Filsafat Ilmu: Sebuah pengantar populer, Penerbit
Pustaka Harapan , Jakarta.
Ahmad Tafsir Filsafat Umum, (Bandung,
1990).
Al-Ghazali, Setitik Cahaya Dalam Kegelapan,
Jujun S. Suriasuantrim Filsafah Ilmu, Sebuah
Pengembangan Populasi. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta 1998
Tim Dosen Filsafah Ilmu, Filsafat Ilmu (Yogyakarta,
1996)
Alwi,
Hasan, dkk. 2000.Tata Bahasa Baku Bahasa
Indonesia .Jakarta: Balai Pustaka.
Aslinda dan Leni Syafsyahya. 2007. Pengantar Sosiolinguistik. Bandung : Refika Aditama.
Chaer, Abdul,2000. Tata
Bahasa Praktis Bahasa Indonesia. Jakarta:Rineka Cipta.
…………….2003. Linguistik Umum.Jakarta:
Rineka Cipta.
…………….dan Leonie Agustina,2004.Sosiolinguistik Perkenalan Awal (Edisi Revisi).Jakarta : Rineka
Cipta.
HP, Ahmad. 2002.Sintaksis
Bahasa Indonesia.Jakarta : Manasco Offset.
Nababan, P.W.J.
1984. Sosioliguistik Suatu Pengantar. Jakarta. Gramedia.
……………….1983.Sosiolinguistik Suatu
Pengajaran. Jakarta : Gramedia.
Ohoiwutun, Paul .2002 .Sosiolinguistik.
Jakarta: Kesaint Blanc
Pateda,
Mansoer1983.Sosiolinguistik. Gorontalo:
Penerbit Vilandan.
………………..1987.Sosiolinguistik. Bandung : Penerbit
Agkasa.
Poedjosoedarmo,
Soepomo. 1983. Interferensi dan Integrasi
Dalam Situasi
Keanekabahasaan,
Kongres Bahasa Indonesia III. Jakarta : Pusat dan
Pengembangan Bahasa.
Rahardi,
Kunjana. 2001. Sosioliguitik Kode dan Alih Kode.Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Setyawan, Iwan.
2011. Dari Kota Apel ke The Big Apple. Jakarta
: Gramedia.
Samsuri,
dan Sujiati. 1994. Ulasan Cerita Rakyat Jawa Timur. Yogyakarta: Yayasan Pustaka Nusantara.
Indonesiasaram. Proses Campur Kode
http://indonesiasaram.wordpress.com/2007/04/22/tentangcampur-kode-lagi/”tanggal diakses 22 november 2007.
Prihantor.
Code Switching and code mixing.
.………………..Bilingulisme.
http://prihantoroundip.blogspot.com/2007/11/eufemisme-dalam-percakapan-berbahasa.html.tanggal
diakses 17/05/2008.
[2] Samsuri, dkk, Ulasan Cerita Rakyat Jawa Timur,
(Yogyakarta : Yayasan Pustaka Nusantara, 1982) hlm.3
[6]
Ibid, hlm.170.
[7]
Ibid, hlm, 83.
[8] Abdul Chaer, Leonie Agustina, Sosiolingustik
Perkenalan Awal,( Jakarta : Rineka Cipta, 1995),hlm, 141.
[9]
Ohoiwutun Paul, Sosiolinguistik (
Jakarta : kesaint Blanc, 2002),hlm,71.
[10]
Abdul Chaer, Leonie. A, Op,Cit., hlm,
152.
[11]
Aslinda, Leni Syafyahya, Pengantar
Sosiolinguistik, ( Bandung : Refika Aditama, 2007), hlm, 84.
[12]
Abdul Chaer, Leonie. A. Loc. Cit.
[13]
Aslinda,Leni. S, Op.Cit, hlm, 86.
[14]
Abdul Chaer, Leonie.A, Loc.Cit.
[15]
Ibid., hlm, 109.
[16]
Aslinda, Leni., Op.Cit,hlm.87.
[17]
Abdul Chaer, Leonie.A.Op.Cit, hlm.114.
[18]Paul
Ohoiwutun, Op.Cit.,hlm.70.
[19]
P.W.J. Nababan, Sosiolinguistik Suatu
Pengantar , (Jakarta : Gramedia,1984 ),hlm.32.
[20]
Abdul Chaer,Leonie.A,Op.Cit.,hlm.115.
[21]
Http;just-drop-by.blogspot.com/2008 03 01 archive html “Code Switching
and code mixing”.
[22]
Http ://indonesiasaram,wordpress.com/2007/04/22/tentang campur
–kode-lagi/”Proses campur kode”.
[23]
Abdul Chaer, Linguistik Umum, (
Jakarta: Rineka Cipta, 2003),hlm.231.
[24]
Henry Guntur,.Tarigan, Pengantar
Sintaksis,( Angkasa : Bandung,1990),hlm.74.
[25]
Abdul Chaer, Op.Cit, hlm.240.
[26]
Hasan Alwi, dkk, Tata Bahasa Baku Bahasa
Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka,hlm.312.
[27]
Abdul Chaer,Op.Cit, hlm.219.
[28]
Ahmad HP, Sintaksis Bahasa Indonesia, ( Jakarta: Manasco Offset, 2002), hlm.18.
[29]
Abdul Chaer, Op.Cit.,hlm.222.
Komentar
Posting Komentar