EMBRIO FILSAFAT M. SYAHNAN NASUTION



UJIAN AKHIR SEMESTER GANJIL
MUHAMAD SYAHNAN NASUTION


Mata Kuliah : Filsafat Ilmu
Kelas : NR PB UNJ 2017
Dosen Penguji  : Prof. Dr. Aceng Rahmat, M.Pd
Dr. Siti Ansoriyah, M.Pd



                                                                                                              

PASCASARJANA UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA 2017
ANALISIS ALIH KODE DAN CAMPUR KODE DALAM NOVEL
 9 SUMMERS 10 AUTUMNS DARI KOTA APEL KE THE BIG APPLE
KARYA IWAN SETYAWAN SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA DI SMA
Oleh : Muhamad Syahnan Nasution
Pendidikan Bahasa Pascasarjana Universitas Negeri Jakarta
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bentuk-bentuk alih kode dan campur kode pada novel “ 9 Summers 10 Autumns Dari Kota Apel Ke The Big Apple” karya Iwan Setywan, dan faktor- faktor yang mempengaruhi terjadinya alih kode dan campur kode tersebut. Penelitian ini menggunakan mtode deskriptif kualitatif, pada 36 judul bab novel “ 9 Summers 10 Autumns Dari Kota Apel Ke The Big Apple” karya Iwan Setyawan.
Dari aspek filsafat ilmu suatu teori atau pengetahuan dapat dikaji kebenarannya dengan mendasarkan pada tiga aspek, yaitu : Ontologis, Epistemologis dan Aksiologis. Ontologi membahas masalah obyek dari ilmu pengetahuan, Epistemologi membahas masalah proses untuk memperoleh ilmu pengetahuan tersebut dan Aksiologi bekaitan dengan manfaat dari ilmu pengetahuan tersebut.
Ilmu pengetahuan atau teori dikatan benar bila memenuhi standar ketiga aspek tersebut. Tulisan ini membahas alih kode dan campur kode  dari kajian Filsafat Ilmu, dengan melihat aspek ontologisnya, epistemologinya dan aksiologinya.

Pendahuluan
1.1    Latar Belakang Masalah
Bahasa adalah sebuah alat komunikasi yang digunakan oleh setiap individu, baik  manusia maupun binatang dan makluk hidup yang lainnya. Bahasa adalah alat komunikasi yang sangat dibutuhkan dan memegang peranan penting sebagai ekspresi jiwa yang ada. Tanpa adanya sebuah bahasa maka kita tidak akan bisa berkomunikasi dan menukarkan pikiran kita dengan orang lain. Terutama bagi  manusia. Bahasa sangat dibutuhkan dalam proses interaksi untuk bertukar pikiran maupun saling menyamakan pendapat.
Manusia bukan makhluk individu melainkan makhluk sosial yang di dalam kesehariannya membutuhkan bahasa sebagai alat komunikasi. Bahasa memegang peranan yang sangat penting yaitu selain untuk alat komunikasi juga sebagai alat untuk bertukar pendapat dan bertransaksi. Tanpa sebuah bahasa maka manusia tidak akan mampu untuk berbuat banyak. Bagaimana jika tidak ada bahasa, apakah kita bisa mengungkapkan kepada orang lain tentang apa yang kita pikirkan. Negara Indonesia yang menggunakan bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi karena itu memang identitas sekaligus kebanggaan bangsa Indonesia.
    Nababan berpendapat bahwa “sebuah komunikasi dapat berlangsung apabila bahasa yang digunakan dapat dipahami sehingga pesan yang disampaikan dapat diterima. Apabila seseorang ingin menyatakan maksud,  baik kepada orang lain atau diri sendiri maka  sudah dapat dikatakan menggunakan komunikasi. Dalam suatu  masyarakat tidak mungkin dapat berkomunikasi apabila anggota masyarakat tersebut tanpa menggunakan bahasa sebagai media atau sarananya. Jika kita tidak mempunyai bahasa, kita tidak akan bisa hidup sebagai mahluk sosial”.[1]

Dari uraian di atas sudah jelas dikatakan bahwa bahasa memegang peranan yang sangat vital. Apabila kita ingin sukses dalam berkomunikasi maka kita harus mampu menguasai bahasa yang digunakan dalam berkomunikasi. Baik itu bahasa lisan, tulis maupun kode-kode atau bahasa tubuh.Bahasa tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Dimanapun ada manusia maka disitu juga akan ada komunikasi. Bahasa merupakan ekspresi jiwa dari penuturnya.
 Samsuri berpendapat  bahwa “Bahasa dapat mengungkapkan aspek-aspek sosial yang dimiliki oleh lingkungan sosialnya. Bahasa itu tidak terpisah oleh manusia dan selalu mengikuti di setiap pekerjaanya, karena bahasa alat yang dipakai untuk membentuk pikiran, perasaan, keinginan, dan perbuatannya”.[2]

Dalam kenyataannya manusia selalu melakukan kegiatan komunikasi dari satu orang kepada orang lain. Hal ini bertujuan untuk mendapatkan informasi dan selalu berusaha mencari sesuatu yang dibutuhkan. Seperti halnya masyarakat yang berkomunikasi dalam bidang ekonomi, budaya, agama dan bidang sosial yang lainnya. Melalui kegiatan sosial inilah akan sangat besar peluang yang diperoleh para anggota masyarakat untuk menggunakan bahasa sebagai alat komunikasinya.
Dengan adanya komunikasi dari satu masyarakat ke masyarakat lain maka akan terciptalah kemampuan berbahasa yang beraneka ragam. Rahardi berpendapat bahwa “ Dalam bidang bahasa, kenyataan tersebut mengakibatakan semakin bervariasinya kode-kode yang dimiliki dan dikuasai oleh anggota masyarakat itu”.[3] Sebagai bukti kemajemukan masyarakat dalam bidang bahasa yaitu terdapat banyak individu yang  memiliki dan menguasai banyak bahasa (multilingual) atau sedikitnya dua bahasa (bilingual).
Berkaitan dengan penguasaan dalam menggunakan bahasa maka dalam hal ini Peneliti membahas tentang pemakaian dua bahasa atau bilingual. Rahardi berpendapat bahwa “Perkodean sebenarnya meliputi berbagai hal, misalnya campur kode, interferensi, integrasi kode, alih kode, dan sebagainya”[4]. Karena terdapat banyak kemampuan bilingualisme maka peneliti akan menitik beratkan pada campur kode. Terutama tentang campur kode bahasa Inggris yang terdapat dalam novel ”9 Summers 10 Autumns Dari Kota Apel ke The Big Apple ” karya Iwan Setyawan. Ragam bahasa yang  muncul karena pengaruh sosial budaya yang ada dalam masyarakat.
Dengan adanya fakta bahwa dalam novel ” 9 Summers 10 Autumns Dari Kota Apel ke The Big Apple ” karya Iwan Setyawan terdapat campur kode bahasa Inggris maka penulis merasa tergugah untuk menelusuri lebih lanjut tentang  penggunaan campur kode tersebut.  Rahardi berpendapat bahwa “Sosioliguitik mengkaji bahasa dengan memperhitungkan  hubungan antara bahasa dengan masyarakat, khususnya masyarakat penutur bahasa itu”[5]. Sosioliguitik mempertimbangkan keterkaitan antar dua hal, yakni dengan linguistik untuk segi kebahasaannya, dan sosiologi untuk segi kemasyarakatannya. Novel ” 9 Summers 10 Autumns  Dari Kota Apel ke The Big Apple” ini banyak menggunakan campur kode bahasa Inggris. Dengan ini maka novel ” 9 Summers 10 Autumns Kota Apel ke The Big Apple” karya Iwan Setyawan dijadikan narasumber bagi penulis untuk dijadikan sebuah penelitian dengan menggunakan campur kode sebagai pokok permasalahannya.
1.2  Kajian Ontologis.
Sebagaimana ditekankan dalam aspek ontologis, yaitu tentang hakikat apa yang dikaji dari suatu ilmu, maka uraian diatas yang membahas tentang teori alih kode dan campur kode telah memberikan hakekat dasar, seperti definisi, demensi hubungan teori alih kode dan campur kode dengan obyeknya ( Dalam novel 9 Summers 10 Autumns dari kota apel ke the big apel karya Iwan Setyawan), dan perkembangan teori tersebut.
Secara ringkas kajian ontologis teori alih kode dan campur kode :
Hakikat Alih Kode dan Campur Kode
                Di dalam studi sosiolinguistik yang mempelajari bahasa dan masyarakatnya, terdapat apa yang disebut alih kode. Kode adalah sebuah istilah netral yang mengacu pada bahasa ( seperti bahasa Indonesia, bahasa Inggris, bahasa Jepang ), variasi bahasa / dialek ( seperti bahasa Jawa dialek Banyumas atau dialek Solo ),variasi kelas sosial / sosiolek ( seperti bahasa Jawa halus dan kasar ), ragam bahasa ( bahasa sopan, gaya hormat, atau gaya santai ), dan kegunaan / register (bahasa pidato, bahasa lawak, dan lain- lain ). Menurut Mansoer Pateda, kode merupakan lambang atau sistem ungkapan yang dipakai untuk menggambarkan makna tertentu. Bahasa manusia adalah sejenis kode.[6] Seseorang yang melakukan pembicaraan, sebenarnya ia telah mengirim kode- kode kepada lawan bicaranya atau pendengarnya. Antara kode yang dilakukan oleh penutur maupun lawan bicaranya harus dimengerti oleh kedua belah pihak. Kalau satu pihak tidak memahami apa yang dikodekan, maka dapat dikatakan bahwa komunikasi tidak ada. Bila satu pihak memahami apa yang dikodekan oleh lawan bicaranya, maka ia pasti akan mengambil keputusan dan tindakan sesuai apa yang harus dilakukan.[7] Kode terbagi atas alih kode dan campur kode.
Menurut seorang ahli, Apple, alih kode adalah gejala peralihan pemakaian bahasa karena berubahnya situasi.[8] Dalam alih kode masing- masing bahasa masih cenderung mendukung fungsi masing- masing dan masing- masing fungsi sesuai dengan konteksnya. Pada contoh berikut ini : Amir dan Alung yang sedang bercakap- cakap dalam bahasa Sunda, langsung mengalihkan pembicaraanya ke dalam bahasa Indonesia saat Chiko yang tidak megerti bahasa Sunda datang, tujuannya agar mereka bertiga bisa terlibat pembicaraan bersama- sama. Pada situasi tersebut alih kode dari bahasa Sunda ke bahasa Indonesia perlu dilakukan, karena sangat tidak pantas bila Amir dan Alung tetap berbahasa Sunda sedangkan rekannya yang lain tidak mengerti apa yang dibicarakan, padahal ia perlu ikut terlibat dalam pembicaraan tersebut. Pada contoh di atas dapat dilihat bahwa peralihan penggunaan bahasa karena berubahnya situasi terjadi dengan datangnya Chiko yang menyebabkan percakapan dalam bahasa Sunda dialihkan menjadi bahasa Indonesia.
Ada pula ahli- ahli lain yang mengemukakan pendapat mengenai pengertian alih kode. Paul Ohoiwutun menyatakan bila dalam suatu peristiwa tutur terjadi peralihan pemakaian dari satu bahasa atau dialek ke bahasa atau dialek lainnya. Maka telah terjadi alih kode pada peristiwa tersebut.[9] Menurut Thelender bila dalam suatu perisiwa terjadi peralihan dari satu klausa suatu bahasa ke klausa bahasa lain, maka peritiwa yang terjadi adalah alih kode.[10] Ahli lainnya, Hymes, mengatakan alih kode bukan hanya terjadi antara bahasa, melainkan juga terjadi antara ragam- ragam bahasa dan gaya bahasa yang terdapat dalam satu bahasa.[11] Fasold (1984) menyebutkan apabila satu klausa jelas- jelas memiliki struktur gramatika satu bahasa, dan klausa berikutnya disusun menurut struktur gramatika bahasa lain, maka peristiwa yang terjadi adalah alih kode.[12]
Dalam berbagai kepustakaan linguistik secara umum, penyebab terjadinya alih kode antara lain : (1) Pembicara atau penutur, (2) Pendengar atau lawan tutur, (3) Perubahan situasi dengan hadirnya orang  ketiga, (4) Perubahan formal ke informal atau sebaliknya, (5) Perubahan topik pembicaraan.[13] Berikut ini penjelasannya :
 (1) Pembicara atau Penutur
Pembicara atau penutur bisa meyebabkan terjadinya alih kode. Seseorang penutur kadang dengan sengaja beralih kode terhadap lawan tutur karena satu tujuan. Misalnya mengubah situasi dari resmi menjadi tidak resmi atau sebaliknya. Biasanya penutur melakukan alih kode untuk mendapatkan keuntungan atau manfaat dari tindakannya itu. Pembicaraan menggunakan bahasa daerah sering dilakukan dengan sengaja suasana terasa akrab, karena dalam hal ini penutur dan lawan tuturnya memiliki rasa kesukuan yang sama. Alih kode juga dilakukan oleh penutur yang dalam peristiwa tutur itu mengharapkan bantuan lawan-lawan tuturnya.[14]
(2) Pendengar atau Lawan tutur
            Pendengar atau lawan tutur dapat menyebabkan terjadi alih kode, misalnya karena si penutur ingin mengimbangi kemampuan berbahasa si lawan tutur tersebut. Biasanya kemampuan berbahasa si lawan tutur kurang atau agak kurang karena memang mungkin bukan bahasa pertamaya, maksudnya tidak terlalu menguasai bahasa yang dituturkan oleh si penutur bahasa.
            Bila lawan tutur berlatar belakang bahasa yang sama dengan si penutur, maka alih kode yang terjadi hanya berupa peralihan varian ( baik regional maupun sosial), ragam gaya, atau register. Kalau si lawan tutur berlatar belakang bahasa yang tidak sama dengan si penutur, maka yang terjadi adalah alih bahasa.[15]

Misalnya, si penutur menguasai bahasa Indonesia dan bahasa Inggris, sedangkan  lawan tutur menguasai bahasa Inggris dan hanya sedikit bahasa Indonesia, sehingga kemampuan berbahasa  Indonesianya tidak telalu lancar. Oleh karena itu, lawan tutur dapat menyebabkan penutur melakukan alih kode yang bertujuan untuk membuat pembicaraan menjadi  lebih lancar.
(3) Perubahan Situasi dengan Hadirnya Orang ketiga.
            Untuk menetralisasi situasi dan menghormati mitra tutur ketiga, biasanya penutur dan lawan tutur beralih kode, apalagi bila latar belakang kebahasaan mereka berbeda. Status orang ketiga menentukan bahasa atau varian yang harus digunakan.[16] Bila dalam sebuah percakapan menggunakan bahasa Sunda, tiba- tiba datang orang ketiga yang tidak menguasai bahasa Sunda, tapi perlu ikut terlibat dalam pembicaraan mereka, maka jalan yang harus dilakukan adalah melakukan alih kode ke dalam bahasa yang dikuasai oleh semuanya, yaitu bahasa Indonesia.
(4) Perubahan dari Situasi Formal ke Informal atau Sebaliknya.
Perubahan situasi bicara dapat menyebabkan terjadinya alih kode. Perubahan tersebut bisa dari situasi formal ke informal atau sebaliknya. Pembicara dalam situasi formal biasanya menggunakan bahasa Indonesia dengan ragam resmi, namun bila pembicaraan berubah menjadi tidak formal maka pembicara dapat beralih ke bahasa Indonesia ragam santai, atau bahkan ke bahasa daerah yang sama, misalnya bahasa Jawa. Bagaimanapun untuk situasi tak resmi lebih mudah menggunakan bahasa pertama daripada bahasa kedua, kalau situasi mengizinkan.
(5) Perubahan Topik Pembicaraan
Pokok pembicaraan atau topik merupakan faktor yang dominan dalam menentukan terjadiya alih kode. Pokok pembicaraan yang bersifat formal biasanya diungkapkan dengan ragam baku, dengan gaya netral dan serius, dan pokok pembicaraan yang bersifat informal disampaikan dengan bahasa yang tidak baku, gaya sedikit emosional, dan serba seenaknya. Misalnya pembicaraan antara dua orag mengenai suatu hal yang formal, maka mereka menggunakan bahasa Indonesia ragam santai atau bahkan menggunakan bahasa daerah ( bila penutur memiliki bahasa ibu yang sama). Jadi, penyebab alih kode dalam kasus percakapan tersebut adalah berubahnya situasi dari formal ke situasi tidak formal.
Dari pendapat para ahli yang telah disebutkan di atas dapat disimpulkan bahwa dalam alih kode setiap bahasa atau ragam bahasa yang digunakan itu masih memiliki fungsi otonomi masing-masing, dilakukan dengan sadar dan sengaja dengan sebab- sebab tertentu. Dengan kata lain, pada alih kode adalah klausa. Selain berupa klausa, alih kode dapat juga berupa kalimat.
Bila pada alih kode terjadi peralihan dari satu klausa ke bahasa lain secara penuh. Pada campur kode tidak seperti itu, melainkan hanya menyisipkan unsur- unsur bahasa lain saja, yang dapat berupa kata atau frase. Abdul Chaer menyatakan :
“ Dalam sebuah kode ada sebuah kode utama atau kode dasar yang digunakan dan memiliki fungsi dan keotonomiannya sedangkan kode-kode lain yang terlibat dalam peristiwa itu hanyalah berupa serpihan- serpihan (pieces) saja, tanpa fungsi atau keotonomian sebagai sebuah kode”.[17]

Jadi campur kode terjadi apabila seseorang penutur bahasa, misalnya penutur bahasa Indonesia memasukan unsur- unsur bahasa daerahnya ke dalam pembicaraan bahasa Indonesia. Kata lain, seeoarang yang berbicara bahasa Indonesia memiliki fungsi keotonomiannya, sedangkan kode bahasa daerah yang terlibat dalam kode utama merupakan serpihan saja tanpa fungsi atau keotonomian sebagai sebuah kode. Paul Ohoiwutun mendefinisikan campur kode sebagai penggunaan lebih dari satu bahasa atau kode dalam satu wacana menurut pola- pola yang belum jelas.[18] Nababan menyatakan :
            “Campur kode merupakan keadaan berbahasa lain bilamana orang mencampur 2 atau lebih bahasa atau ragam dalam suatu tindak bahasa ( speech act atau disourse) tanpa ada sesuatu dalam situasi berbahasa itu yang menuntut pencampuran bahasa itu sendiri”.[19]

Ada juga ahli lain yang mengemukakan pendapat mengenai campur kode, Thelender, menyatakan :
            “ Apabila dalam suatu peristiwa tutur, klausa- klausa maupun frase- frase yang digunakan terdiri dari klausa atau frase campuran ( hybrid clause, hybrid pharses), dan masing- masing klausa atau frase itu tidak lagi mendukung fungsi sendiri- sendiri, maka peristiwa yang terjadi adalah campur kode”.[20] Sedangkan menurut Julie Weisenberg, dalam bukunya Simultanous Code Mixing in American Language Sign Interpretaion, ada 5 alasan mengapa seseoang melakukan campur kode, yaitu : (1) Sebagai tanda keanggotaan grup tetentu, (2) ketidakmampuan untuk mencari padanan katanya dalam suatu bahasa, (3) hubungan suatu bahasa dengan topik yang dibicarakan, (4) mengucilkan seseorang dari pembicaraan, (5) untuk menunjukan otoritas.[21] Berikut ini adalah penjelasannya :
(1) Sebagai tanda keanggotaan grup tertentu.
Penutur sering melakukan campur kode sebagai tanda keanggotaan grup tertentu. Maksudnya untuk menunjukan identitas seseorang, menunjukan status sosial, intelektual. Biasanya penutur yang melakukan campur kode dengan bahasa asing dapat dikategorikan sebagai orang terpelajar.
(2) ketidakmampuan untuk mencari padanan  katanya dalam suatu bahasa.
Penutur sering melakukan campur kode karena ketidakmampuan untuk mencari padanan katanya dalam suatu bahasa. Karena merasa kesulitan untuk mencari padanan kata yang tepat atau mungkin belum ada dalam suatu bahasa, misalnya bahasa Indonesia, maka seorang penutur melakukan campur kode dengan bahasa Inggris atau bahasa lainnya. Contohnya istilah komputer dan flashdisk yang belum ada padanannya dalam bahasa Indonesia, maka istilah- istilah ini yang tetap digunakan.
(1)   Hubungan suatu bahasa dengan topik yang dibicarakan.
Penutur melakukan campur kode karena ada hubungan antara suatu bahasa dengan topik yang dibicarakan, misalnya dalam teknologi komputer, seringkali bahasa inggris lebih disukai karena banyak bahasa pemrograman yang menggunakan bahasa ini.
(2)   Mengucilkan seseorang dari pebicaraan.
Penutur sering melakukan campur kode secara sengaja untuk  tujuan mengucilkan seseorang dari pembicaraan. Kadang- kadang dalam suatu percakapan digunakan kata- kata bahasa asing supaya pihak ketiga tidak tahu apa yang dibicarakan.
(3)   Untuk menunjukan otoritas
Penutur bahasa melakukan campur kode untuk menunjukkan otoritas mereka. Contohnya, pada zaman dahulu orang- orang Belanda sering menggunakan bahasa Belanda untuk menunjukkan superioritas mereka atas orang Indonesia.
Dalam Musyken (2001), campur kode mengalami beberapa proses, yaitu : (1) memasukan materi tertentu ( kata-kata maupun frase- frase ) dari suatu bahasa ke struktur bahasa lain, (2) struktur yang bergantian antara bahasa- bahasa , (3) penyerapan kata dari kosa kata bahasa yang berbeda menjadi satu struktur tata bahasa yang sama.[22] Peristiwa yang memperlihatkan gejala campur kode dapat dilihat pada saat orang berbincang-bincang, lalu mereka mencampur bahasa Indonesia dengan bahasa daerah atau bahasa asing tertentu. Prinsip sederhana dalam campur kode ialah kata dan frase dalam bahasa asing digunakan dalam konstruksi bahasa asal. Misalnya kata dan frase dalam bahasa Inggris yang digunakan dalam konstruksi bahasa Indonesia, atau bisa juga sebaliknya, contohnya tampak dalam percakapan berikut:
Frey seorang mahasiswa pertukaran pelajar dari Inggris sedang membesuk temannya Dyna, orang Indonesia asli.
Fray  : “Dyna, how are you? Kamu sudah sembuh belum?”
Dyna : “ Sudah better nih. Thank’s ya sudah besukin aku”.
Fray  : “ It’s okay. Kapan kamu masuk kuliah?”
Dyna : “ Mungkin next week ya. Aku disuruh bedrest dulu sama dokter”.
            Dari percakapan tersebut, tampak Frey dan Dyna menggunakan bahasa Indonesia ragam santai dengan sesekali menyelipkan bahasa Inggris dalam perakapan mereka. Dalam hal ini telah terjadi campur kode, karena Frey dan Dyna menggunakan satu bahasa , yaitu bahasa Inggris. Contoh lain misalnya sesorang yang berbahasa Indonesia dengan sesekali menyelipkan bahasa Sunda atau bahasa Jawa, sehingga menjadi bahasa Indonesia yang kejawa-jawaan atau bahasa Indonesia yang kesunda-sundaan. Biasanya hal ini dilakukan oleh para penutur dalam situasi yang tidak resmi atau situasi santai.
            Dari pendapat beberapa ahli mengenai campur kode tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa dalam campur kode yang terjadi adalah penggunaan satu bahasa yang di dalamnya terdapat serpihan- serpihan dari bahasa lain, yang wujudnya dapat berupa kata dan frase. Jadi, batasan campur kode adalah kata dan   frase.

Dalam landasan ontologis, Suriasumantri (1999 : 89) menyatakan bahwa salah satu aspek penting adalah pengembangan asumsi, dengan memperhatikan dua hal, yaitu: 1) Asumsi harus sesuai dengan bidang dan tujuan pengkajian disiplin keilmuan, 2) asumsi harus disimpulkan dari keadaan sebagaimana adanya.
1.3 Kajian Epistemologi
Dalam aspek epistemologis ditekankan pada "Bagaimana mendapatkan pengetahu-an yang benar?". Untuk menjawab pertanyaan tersebut, maka ilmu,teori maupun pengetahuan harus didapatkan melalui metode ilmiah. Peter Senn (1971), Huxley (1964) sebagaimana dikutip oleh Suriasumantri (1999: 119) menyatakan bahwa metode ilmiah merupakan prosedur atau cara mengetahui sesuatu yang mempunyai langkah-langkah sistematis dalam mendapatkan pengetahuan yang disebut ilmu, dan metode ilmiah merupakan ekspresi mengenai cara bekerjanya pikiran. Dengan cara bekerja ini maka pengetahuan yang dihasilkan diharapkan mempunyai karakteristik tertentu yang diminta oleh pengetahuan ilmiah, yaitu sifat rasional dan teruji, yang memungkinkan bahwa pengetahuan yang disusun merupakan pengetahuan yang dapat diandalkan. Dalam hal ini maka metode ilmiah mencoba menggabungkan cara berfikir deduktif dan cara berfikir induktif dalam membangun pengetahuan tersebut.
Dalam konteks epistemologi khususnya dalam metode ilmiah perlu dikembangkan konsep positivisme yang berarti ilmu yang valid adalah ilmu yang dibangun dari empirik . Filsafat positivisme berusaha menyusun bangunan ilmu secara nomothetikyaitu ilmu yang berupaya membuat hukum dari generalisasinya. Kebenaran dicari lewat hubungan kausal linier, tiada akibat tanpa sebab, dan tiada sebab tanpa akibat. Positivisme mempunyai slogan yang tekenal yaitu "savoir pour prevoir, prevoir pour pouvoir" yang artinya dari ilmu muncul prediksi, dan dari prediksi muncul aksi (Triyono; 2003 : 12). Teori kebenaran yang dianut positivisme termasukteori korespondensi (Muhadjir : 2000 : 13 – 14). Teori korespondensi menyebutkan bahwa suatu pernyataan adalah benar jika terdapat fakta-fakta empiris yang mendukung pernyataan tersebut (Susiasumanrtri : 1999:20) Atau dengan kata lain, suatu pernyataan dianggap benar apabila materi yang terkandung dalam pernyataan tersebut bersesuaian (korespodensi)) dengan obyek faktual yang ditunjuk oleh pernyataan tersebut.


Analisis Alih Kode Berupa Klausa
Batasan alih kode adalah berupa penggunaan klausa merupakan tataran di dalam sintaks yang berada di atas tataran frase dan di bawah tataran kalimat. Menurut Abdul Chaer, klausa adalah satuan sintaksis berupa runtunan kata- kata berkonstruksi predikat.[23] Artinya, pada konstruksi tersebut terdapat kata atau frase yang berfungi sebagai subjek, objek atau keterangan. Menurut ahli lainnya, Ramlan, klausa adalah suatu bentuk linguistik yang terdiri atas  subjek dan predikat.[24] Jadi, dapat dikatakan bahwa dalam sebuah klausa fungsi subjek dan predikat wajib ada. Klausa juga berpotensi untuk menjadi sebuah kalimat tunggal, karena di dalamnya terdapat fungsi sintaksis tadi, yaitu subjek dan predikat.

Berdasarkan strukturnya, klausa dibedakan atas :
(1)   Klausa bebas, unsur- unsur yang ada dalam klausa bebas paling sedikit adalah S ( subjek) dan P ( predikat).
(2)   Klausa terikat adalah klausa yang memiliki sturktur  tidak lengkap, unsur yang ada dalam klausa ini mungkin hanya subjek saja atau objek saja, atau hanya berupa keterangan saja.
Berdasarkan kategori kata pengisi predikat, klausa dapat dibedakan atas :
(1)    Klausa nominal, yaitu klausa yang predikatnya berupa nomina atau frase nominal.
(2)    Klausa verbal, yaitu klausa yang predikatya berkategori verba atau frase verbal.
(3)   Klausa ajektival, yaitu klausa yang predikatnya berkategori ajektiva baik berupa kata maupun frase.
(4)   Klausa adverbial, yaitu klausa yang predikatnya berupa kata atau frase adverbial.
(5)   Klausa preposisional, yaitu klausa yang predikatnya berupa kata atau frase yang kategorinya preposisi.
(6)   Klausa numerial, yaitu klausa yang predikatnya berupa kata atau frase numeralia.
Berdasarkan ada atau tidaknya bentuk negatif pada predikat, klausa dibedakan atas :
(4)   Klausa positif, yaitu klausa yang tidak memiliki kata- kata yang menyatakan negatif.
(5)   Klausa negatif, yaitu klausa yang memiliki kata- kata negatif yang secara gramatik menegatifkan predikat, antara lain kata tidak, tak, bukan, belum, dan jangan.

Analisis Alih Kode Berupa Kalimat
Alih kode selain dapat berupa klausa, dapat juga berupa kalimat menurut Abdul Chaer, kalimat adalah satuan sintaksis yang disusun dari konstituen dasar yang biasanya berupa klausa. Dilengkapi dengan konjungsi bila diperlukan, dan disertai intonasi final.[25] Konstituen dasar itu biasanya berupa klausa. Jadi, bila sebuah klausa diberi intonasi final, maka akan terbentuk sebuah kalimat. Ahli lainnya, Hasan Alwi, dkk menyatakan bahwa kalimat merupakan konstruksi sintaksis terbesar yang terdiri atas dua kata atau lebih.[26] Karena terdiri atas dua kata atau lebih, maka kalimat terdiri atas frase dan klausa.
Jenis- jenis kalimat terdiri atas :
(1)   Berdasarkan jumlah klausanya dalam kalimat dapat dikategorikan atas :
a.       Kalimat tunggal : bila sebuah kalimat hanya terdiri dari satu klausa.
b.      Kalimat majemuk : bila sebuah kalimat itu terdapat lebih dari satu klausa.
(2)   Berdasarkan pembentukan kalimat dari klausa inti dan perubahannya, terdiri atas :
a.       Kalimat inti atau kalimat dasar : adalah kalimat yang dibentuk dari klausa inti yang lengkap bersifat deklaratif, aktif atau netral, dan afirmatif.
b.      Kalimat non-inti : kalimat inti yang mengalami proses transformasi seperti penaifan, pengingkaran, penanyaan, pemerintahan, penginversian, pelepasan, dan penambahan.
(3)   Berdasarkan struktur klausanya dapat dikategorikan atas :
a.       Kalimat mayor : bila sebuah kalimat klausanya lengakap, sekurang-kurangnya memiliki unsur subjek dan predikat.
b.      Kalimat minor : bila sebuah kalimat klausanya tidak lengkap entah hanya terdiri dari subjek saja, predikat saja, objek saja, atau keterangan saja.

(4)   Berdasaran jenis klausanya dapat dikategorikan atas :
a.       Kalimat verbal : adalah kalimat yang dibentuk dari klausa verbal, atau kalimat yang predikatnya berupa kata atau frae yang berkategori verba.
b.      Kalimat non-verbal : adalah kalimat yang predikatnya bukan kata atau frase verbal; bisa nominal, ajektival, adverbal, atau juga numeralia.
(5)   Berdasarkan fungsi kalimat sebagai pembentuk paragraf maka terdiri atas :
a.       Kalimat bebas : adalah kalimat yang mempunyai potensi untuk menjadi ujaran lengakap, atau dapat memulai  sebuah paragaf atau wacana tanpa bantuan kalimat atau konteks lain yang menjelaskannya.
b.      Kalimat terikat : adalah kalimat yang tidak dapat berdiri sendiri sebagai ujaran lengkap, atau menjadi pembuka paragraf atau wacana tanpa bantuan konteks lain.

Analisis Campur Kode Berupa Kata
            Batasan campur kode adalah berupa serpihan kata. Menurut Abdul Chaer, kata merupakan satuan terkecil yang secara hierarkial menjadi komponen pembentuk sintaksis yang lebih besar,yaitu frase.[27] Kata terbagi atas kata penuh dan kata tugas. Kata penuh adalah kata- kata yang termasuk kategori nomina ( kata benda ), verba ( kata kerja ), ajektival ( kata sifat ), adverbial ( kata keterangan ), dan numeralia ( kata bilangan ). Yang masing- masing memiliki makna leksikal dan dapat berdiri sendiri, sedangkan yang termasuk kata tugas adalah kata- kata yang berkategorikan preposisi ( kata depan), konjungsi  ( kata sambung ), demonstrativa ( kata penunjuk ), interjeksi ( kata seru ), dan partikel.

Analisis Campur Kode Berupa Frase
            Campur  kode selain berupa serpihan kata, dapat juga berupa frase. Ahmad HP mendefinisian frase sebagai satuan gramatikal yang berupa gabungan dua kata atau lebih yang bersifat nonpredikat.[28] Menurut Abdul Chaer, frase lazim juga disebut gabungan kata yang mengisi salah sau fungsi sintaksis di dalam kalimat.[29] Frase itu pasti terdiri lebih dari sebuah kata.
Jenis- jenis frase :
Berdasarkan unsur pembentuknya, terbagi atas :
1)      Frase yang unsurnya berupa kata, misalnya pasar itu.
2)      Frase yang unsurnya berupa frase, misalnya frase baju baru dan frase anak itu dalam frase baju baru anak itu.
Berdasarkan distribusinya dalam kalimat, terbagi atas :
1)      Frase edosentris, yaitu frase yang keseluruhan komponennya mempunyai perilaku sintaksis yang sama dengan perilaku komponennya.
2)      Frase eksosentris, yaitu frase yang sebagian atau seluruh  komponennya tidak memiliki perilaku sintaksis yang sama dengan keseluruhan komponennya.
Berdasarkan kelas katanya, terbagi atas :
1)      Frase nomina, yaitu frase yang memiliki distribusi sama dengan kata nominal ( benda).
2)      Frase verbal, yaitu frase yang memiliki distribusi sama dengan kata verbal (kerja ).
3)      Frase ajektival, yaitu frase yang memiliki distribusi sama dengan kata ajektival ( sifat ).
4)      Frase bilangan, yaitu farse yang memiliki distribusi sama dengan kata bilangan.
5)      Frase keterangan, yaitu frase yang memiliki distribusi sama dengan kata keterangan.
6)      Frase depan, yaitu  sebagai penanda diikuti oleh kata/ frase nominal, verbal, atau keterangan sebagai penandanya.

1.4 Kajian Aksiologi
Aspek aksiologis dalam filsafat ilmu berusaha menjawab pertanyaan "Untuk apa pengetahuan atau ilmu pengetahuan digunakan?". Suriasumantri (1999 : 249) menyatakan bahwa pengetahuan harus digunakan untuk kemaslahatan manusia.
Berdasarkan teori penelitian di atas, maka alih kode dan campur kode pada novel 9 Summers 10 Autumns Dari Kota Apel Ke The Big Apple”. Karya Iwan Setyawan yang terdiri dari 36 judul bab tersebut, dapat diimplikasikan oleh  penulis, yang akan membuat cerita  ( narasi ) atau novel yang di dalamnya terdapat bentuk-bentuk alih kode dan campur kode. Penggunaan bahasa daerah, bahasa asing, dan bahasa ragam santai atau bahasa sehari- hari dapat memberikan penyegaran atau variasi pada sebuah cerita ( narasi ) atau novel agar tidak terkesan kaku dan monoton karena hanya menggunakan satu bahasa saja.
Dalam prosesnya, memberikan variasi bahasa dalam menulis sebuah cerita ( narasi ) atau novel dengan cara mengalih kode dan mencampur kjode merupakan kegiatan yang sah- sah saja, tapi harus diperhatikan juga bahwa tidak semua pembaca mempunyai tingakat pendidikan dan tingkat penguasaan bahasa yang sama. Langkah untuk menginplikasikannya adalah dengan cara memilih kata-kata yang tepat, memperhatikan keperluan penggunaan kata-kata itu sendiri apakah memang harus menggunakan bahasa asing, bahasa daerah, atau bahasa sehari-hari, juga disesuaikan dengan segmentasi pembaca, agar tidak terjadi salah penafsiran atau salah penggunaan kata-kata.
Misalanya dengan cara mencari padanan kata yang berasal dari bahasa asing, bahasa daerah, maupun bahasa sehari-hari tersebut dengan bahasa Indonesia, contohnya untuk kata handphone diganti dengan kata telepon genggam, kata okey diganti dengan kata baik, dan lain-lain. Tentu saja disesuaikan dengan ketepatan penggunaannya, karena bila tidaka memungkinkan untuk dicari padanan katanya, maka kata-kata yang berasal dari bahasa asing, bahasa daerah, maupun bahasa sehari-hari tersebut dapat dikelompokkan dalam beberapa katagori, misalnya untuk kata sapaan, atau kata-kata yang mewakili pengertian tertentu, lalu dilampirkan dalam cerita ( narasi ) atau novel dengan dituliskan artinya, untuk memudahkan pembaca dalam memahami sebuah cerita ( narasi ). Langkah ini bertujua untuk menghindari terjadinya ambiguitas atau kerancuan bagi pembaca.
Alih kode dan campur kode dapat digunakan sesuai keperluannya dengan tetap memperhatikan kaidah tata bahasa, agar alih kode dan campur kode yang muncul sesuai denan maksud penggunaannya dan tidak memunculkan ambiguitas. Penulis tetap dapat memunculkan alih kode dan campur kode dalam tulisan selama terdapat kepentingan yang membuat alih kode an campur kode tersebut harus dimunculkan, misalnya saja terkait dengan istilah teknis tertentu yang tidak ada padanannya dalam bahasa Indonesia.

KESIMPULAN
Filsafat ilmu merupakan telaah secara filsafat tentang ilmu atau pengetahuan. Dalam filsafat ilmu setiap ilmu , pengetahuan ataupun teori dapat dikaji atau ditelaah dari aspek ontologi, epistemologi dan aksiologi, dan ketiga aspek ini menjadi landasan suatu ilmu untuk berkembang. Tujuannya adalah untuk mengembangkan disiplin ilmu dengan penuh tanggung jawab dan sungguh-sungguh sehingga bermanfaat untuk masyarakat dan untuk pengembangan ilmu itu sendiri.





DAFTAR PUSTAKA
Chalmers, AF (1983), Apa itu yang dinmakan ilmu?, Penerbit Hasta Mitra, Jakarta.
Muhadjir, Noeng (2000), Metodologi Penelitian Kualitatif ,Edisi IV, Penerbit Rake Sarasin, Yogyakarta.
Suriasumantre,Jujun,S (1999) Filsafat Ilmu: Sebuah pengantar populer, Penerbit Pustaka Harapan , Jakarta.
Ahmad Tafsir Filsafat Umum, (Bandung, 1990).

Al-Ghazali, Setitik Cahaya Dalam Kegelapan,

Jujun S. Suriasuantrim Filsafah Ilmu, Sebuah Pengembangan Populasi. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta 1998

Tim Dosen Filsafah Ilmu, Filsafat Ilmu (Yogyakarta, 1996)

Alwi, Hasan, dkk. 2000.Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia .Jakarta: Balai Pustaka.
Aslinda dan Leni Syafsyahya. 2007. Pengantar Sosiolinguistik. Bandung : Refika Aditama.
Chaer, Abdul,2000. Tata Bahasa Praktis Bahasa Indonesia. Jakarta:Rineka Cipta.
…………….2003. Linguistik Umum.Jakarta: Rineka Cipta.
…………….dan Leonie Agustina,2004.Sosiolinguistik Perkenalan Awal (Edisi Revisi).Jakarta : Rineka Cipta.
HP, Ahmad. 2002.Sintaksis Bahasa Indonesia.Jakarta : Manasco Offset.
Nababan, P.W.J. 1984. Sosioliguistik Suatu Pengantar. Jakarta. Gramedia.
……………….1983.Sosiolinguistik Suatu Pengajaran. Jakarta : Gramedia.
Ohoiwutun, Paul .2002 .Sosiolinguistik. Jakarta: Kesaint Blanc
Pateda, Mansoer1983.Sosiolinguistik. Gorontalo: Penerbit Vilandan.

………………..1987.Sosiolinguistik. Bandung : Penerbit Agkasa.

Poedjosoedarmo, Soepomo. 1983. Interferensi dan Integrasi Dalam Situasi
Keanekabahasaan, Kongres Bahasa Indonesia III. Jakarta : Pusat dan Pengembangan Bahasa.

Rahardi, Kunjana. 2001. Sosioliguitik Kode dan Alih Kode.Yogyakarta: Pustaka
                        Pelajar.
Setyawan, Iwan. 2011. Dari Kota Apel ke The Big Apple. Jakarta : Gramedia.
Samsuri, dan Sujiati. 1994. Ulasan Cerita Rakyat Jawa Timur. Yogyakarta:   Yayasan Pustaka Nusantara.
Indonesiasaram. Proses Campur Kode
                    http://indonesiasaram.wordpress.com/2007/04/22/tentangcampur-kode-lagi/”tanggal diakses 22 november 2007.
Prihantor. Code Switching and code mixing.
.………………..Bilingulisme.
                     http://prihantoroundip.blogspot.com/2007/11/eufemisme-dalam-percakapan-berbahasa.html.tanggal diakses 17/05/2008.





[1] Nababan, P.W.J,Sosiolingistik Suatu Pelajaran, (Jakarta : Gramedia, 1983), hlm.46
[2] Samsuri, dkk, Ulasan Cerita Rakyat Jawa Timur, (Yogyakarta : Yayasan Pustaka Nusantara, 1982) hlm.3
[3] Kunjana, Rahardi, Sosiolingistik Kode dan Alih Kode,(Yogyakarta:Pustaka Pelajar,2011),hlm.3
[4]Ibid.
[5]Ibid,hlm.12-13
[6] Ibid, hlm.170.
[7] Ibid, hlm, 83.
[8] Abdul Chaer, Leonie Agustina, Sosiolingustik Perkenalan Awal,( Jakarta : Rineka Cipta, 1995),hlm, 141.
[9] Ohoiwutun Paul, Sosiolinguistik ( Jakarta : kesaint Blanc, 2002),hlm,71.
[10] Abdul Chaer, Leonie. A, Op,Cit., hlm, 152.
[11] Aslinda, Leni Syafyahya, Pengantar Sosiolinguistik, ( Bandung : Refika Aditama, 2007), hlm, 84.
[12] Abdul Chaer, Leonie. A. Loc. Cit.
[13] Aslinda,Leni. S, Op.Cit, hlm, 86.
[14] Abdul Chaer, Leonie.A, Loc.Cit.
[15] Ibid., hlm, 109.
[16] Aslinda, Leni., Op.Cit,hlm.87.
[17] Abdul Chaer, Leonie.A.Op.Cit, hlm.114.
[18]Paul Ohoiwutun, Op.Cit.,hlm.70.
[19] P.W.J. Nababan, Sosiolinguistik Suatu Pengantar , (Jakarta : Gramedia,1984 ),hlm.32.
[20] Abdul Chaer,Leonie.A,Op.Cit.,hlm.115.
[21] Http;just-drop-by.blogspot.com/2008 03 01 archive html “Code Switching and code mixing”.
[22] Http ://indonesiasaram,wordpress.com/2007/04/22/tentang campur –kode-lagi/”Proses campur kode”.
[23] Abdul Chaer, Linguistik Umum, ( Jakarta: Rineka Cipta, 2003),hlm.231.
[24] Henry Guntur,.Tarigan, Pengantar Sintaksis,( Angkasa : Bandung,1990),hlm.74.
[25] Abdul Chaer, Op.Cit, hlm.240.
[26] Hasan Alwi, dkk, Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka,hlm.312.
[27] Abdul Chaer,Op.Cit, hlm.219.
[28] Ahmad HP, Sintaksis Bahasa Indonesia, ( Jakarta: Manasco Offset, 2002), hlm.18.
[29] Abdul Chaer, Op.Cit.,hlm.222.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

AKSIOLOGI: NILAI KEGUNAAN ILMU

makalah filsafat dari masa ke masa

Embrio Tesis: Nurul Ulum