AKSIOLOGI: NILAI KEGUNAAN ILMU



MAKALAH FILSAFAT ILMU
AKSIOLOGI: NILAI KEGUNAAN ILMU

Makalah Ini Disusun untuk Memenuhi Syarat Presentasi
pada Perkuliahan Filsafat Ilmu
Diampu oleh Prof. Dr. Aceng Rahmat, M.Pd. dan Dr. Siti Ansoriyah, M.Pd.
 











Disusun oleh:

Yuliza Mugi Hartika
Nur Ahid Prasetyawan P.



PROGRAM PASCASARJANA
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA
UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA





 

BAB I
PENDAHULUAN

            Kita adalah makhluk tuhan yang mempunyai kelebihan dari makhluk-makhluk ciptaan yang lain karena kita diberikan akal untuk berfikir dan hati untuk mengatur emosi kita. Pada saat kita tumbuh berkembang dari anak-anak sampai dewasa kita mencari tempat yang baik untuk dirinya maupun anak-anaknya baik pendidikan formal dari SD sampai tingkat lanjutan atas dan perguruan tinggi maupun pendidikan nonformal. Usaha untuk mendapatkan pendididkan yang baik inilah yang menjadi usaha untuk mendapatkan ilmu. Menurut Jujun S, Suriasumantri (1990) ilmu merupakan pengetahuan yang kita gumuli sejak bangku sekolah dasar sampai pendidikan lanjutan dan perguruan tinggi. Sehingga ilmu yang kita dapat setelah melalui tahapan pendidikan menjadi alat untuk memperbaharui hidup, mencapai suatu keinginan dan membawa ketujuan hidup yaitu kebahagiaan. Pada dasarnya ilmu yang kita pelajari bersifat netral karena ilmu tidak mengenal sifat baik maupun buruk dalam ilmu itu sendiri tetapi tergantung pada orang yang memiliki ilmu tersebut, bagaimana dia memanfaatkan ilmu yang telah didapatkannya dan bergunakah ilmu yang telah dipelajarinya untuk kehidupan sosialnya. Dalam hal ini ilmu yang berkaitan dengan kegunaannya akan di bahas dalam kajian filsafat yang ketiga yaitu aksiologi. Karena, pada hakikatnya ilmu harus digunakan dan dimanfaatkan untuk kepentingan manusia sebagai sarana atau alat dalam meningkatkan taraf hidup manusia dengan memperhatikan nilai atau etika, kodrat dan martabat manusia.
            Filsafat adalah ilmu yang menyelidiki segala sesuatu dengan mendalam mengenai ketuhanan, alam manusia, dan manusia, sehingga dapat menghasilkan pengetahuan tentang bagaimana hakikatnya sejauh yang dapat dicapai akal manusia tentang bagaimana hakikat sejauh yang dapat dicapai akal manusia setelah mencapai pengetahuan.
Perkembangan yang terjadi dalam pengetahuan ternayata melahirkan sebuah polemik baru karena kebebasan pengetahuan terhadap nilai atau yang bisa disebut sebagai netralitas pengetahuan (value free). Bagian dari filsafat pengetahuan membicarakan tentang ontologis, epistomologis, dan aksiologis. Pembahasan aksiologis menyangkut masalah nilai kegunaan ilmu. Artinya pada tahap-tahap tertentu kadang ilmu harus disesuaikan dengan nilai-nilai budaya dan
1
moral suatu masyarakat, sehingga nilai kegunaan ilmu tersebut dapat dirasakan oleh masyarakat dalam usahanya meningkatkan kesejahteraan bersama, bukan malahan menimbulkan bencana.
Sebelum membahas spesifik mengenai Aksiologi. Terlebih dahulu akan dibahas mengenai ketiga dimensi sudut pandang ilmu pengetahuan. Menurut Ihsan (2010, hal 223) “Pembedaan sudut pandang tersebut hanya merupakan pengkategorian semata. Dalam praktiknya ketiga sudut pandang ini tidak terpisahkan”. Berikut definisi dari masing-masing sudut pandang:
1.        Ontologis
    Mengutip dari Angeles (Ihsan; 2010, hal 223) ‘Istilah “ontologi” berasal dari bahasa yunani yang berarti yang sungguh-sungguh ada, “kenyataan yang sesungguhnya”, sedangkan “logos” memiliki arti “studi tentang”, sehingga Menurut Ihsan (2010, hal 223) “Ontologi merupakan studi yang membahas mengenasi sesuatu yang ada”.Adapun yang dimaksud ontologi, mengutip Kastoff (Ihsan; 2010, hal 223) ‘ontologi diartikan sebagai metafisika umum yaitu cabang filsafat yang mempelajari sifat dasar dari kenyataan yang terdalam, ontologi membahas asas-asas rasional dari kenyataan.’ Definisi lainnya dari Sarwa (Jalaluddin; 2013, 157) ‘ontologi adalah kajian yang memusatkan diri pada pemecahan esensi sesuatu, atau wujud, tentang asas-asas dan realitas.’ Sehingga dapat disimpulkan bahwa ontologis merupakan kajian mengenai sesuatu yang berwujud dan rasional.
2.        Epistimologis
Sudut pandang yang kedua adalah Epistimologis, dimana epistimologi berasal dari bahasa Yunani episteme yang berarti “Pengetahuan”, “pengetahuan yang benar”,”pengetahuan ilmiah”, dan logos yang berarti teori (Jalaluddin; 2013, 160). Epistimologi sering disebut “Theory of knowledge”. Menurut Ihsan (2010, 225), “epistimologi dapat didefinisikan sebagai dimensi filsafat yang mempelajari asal mula, sumber, manfaat, dan sahihnya pengetahuan”. Menurut Suriasumantri (Jalaluddin; 2013: 160) Epistimologi sebagai teori pengetahuan membahas secara mendalam segenap proses yang terlihat dalam usaha kita untuk memperoleh pengetahuan. Epistimologi menjadi dasar pijakan dalam memberikan legitimasi bagi suatu ”ilmu pengetahuan” untuk diakui sebagai disiplin ilmu, Aspek epistimologi yang penting dalam pengembangan ilmu pengetahuan adalah metode keilmuan (Ihsan, 2010: 226).
Epistimologi merupakan aspek yang membahas mengenai asal, sumber, proses suatu pengetahuan sampai dapat diakui sebagai ilmu pengetahuan melalui metode keilmuan.
2
3.      Aksiologis
Istilah aksiologi dalam bahasa Inggris adalah axiology. Berasal dari kata Yunani axios (layak, pantas), dan logos (ilmu, studi mengenai). Dimensi aksiologis berarti ilmu atau teori. (Ihsan, 2010: 207). Aksiologi membahas mengenai hakikat nilai, sehingga biasa disebut Filsafat Nilai. Dalam filsafat pembicaraan aksiologi dilakukan untuk mengetahui batas arti, tipe, kriteria dan status epistemologis dari nilai-nilai.
     Pada makalah ini penulis membatasi bebrapa hal yang akan dibahas yaitu : 1) memahami arti dan maksud aksiologi, 2)  memahami maksud dan arti ilmu dan moral, 3) mengetahui dan memahami kegunaan aksiologi ilmu,  dan 4) memahami tanggung jawab social kelmuwan.




















3
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Pengertian Aksiologi
            Aksiologi merupakan bagian ketiga dari kajian filsafat setelah ontologi dan epistomologi. Jika dalam kajian entologi mempertanyakan tentang objek apa yang akan ditelaah dan pada kajian epistomologi berkaitan dengan bagaimana asal, sifat dan jenis pengetahuan, sedangkan aksiologi merupakan cabang filsafat yang memepertanyakan bagaimana manusia menggunakan dan memanfaatkan ilmunya.
            Menurut Jujun S. Suriasumantri (2003:231) “Aksiologi merupakan cabang filsafat yang membahas tentang nilai (value)”. Menurut Wibisono (dalam Surajiyo, 2009:152) aksiologi adalah nilai-nilai sebagai tolak ukur kebenaran, etika dan moral sebagai dasar normative penelitian dan penggalian, serta penerapan ilmu. Dan definisi aksiologi menurut Bramel (dalam Amsal, 2009:163) aksiologi terbagi menjadi tiga bagian:
1.        Moral Conduct, yaitu tindakan moral, bidang ini melahirkan disiplin khusus yaitu etika.
2.        Estetic expression, yaitu ekspresi keindahan, bidang ini melahirkan keindahan.
3.        Socio-political life, yaitu kehidupan social politik, yang akan melahirkan filsafat social politik.
Menurut bahasa Yunani, aksiologi berasal dari kata axios artinya nilai dan logos artinya teori atau ilmu.  Jadi aksiologi adalah teori tentang nilai. Aksiologi bisa juga disebut sebagai the theory of value atau teori nilai. Berikut ini dijelaskan beberapa definisi aksiologi. Menurut Suriasumantri (1987:234) aksiologi adalah teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang di peroleh. Menurut Kamus Bahasa Indonesia (1995:19) aksiologi adalah kegunaan ilmu pengetahuan bagi kehidupan manusia, kajian tentang nilai-nilai khususnya etika. Menurut Wibisono aksiologi adalah nilai-nilai sebagai tolak ukur kebenaran, etika dan moral sebagai dasar normatif penelitian dan penggalian, serta penerapan ilmu.
Jadi  aksiologi adalah bagian dari filsafat yang menaruh perhatian tentang baik dan buruk (good and bad), benar dan salah (right and wrong), serta tentang cara dan tujuan (means and and).
4
Aksiologi mencoba merumuskan suatu teori yang konsisten untuk perilaku etis. Menurut Bramel Aksiologi terbagi tiga bagian:
1.        Moral Conduct, yaitu tindakan moral, Bidang ini melahirkan disiplin khusus yaitu etika.
2.        Estetic expression, yaitu ekspresi keindahan, bidang ini melahirkan keindahan
3.        Socio-politcal life, yaitu kehidupan sosial politik, yang akan melahirkan filsafat sosial politik.
Dalam Encyslopedia of philosophy dijelaskan aksiologi disamakan dengan value and valuation:
1.        Nilai digunakan sebagai kata benda abstrak, Dalam pengertian yang lebih sempit seperti baik, menarik dan bagus. Sedangkan dalam pengertian yang lebih luas mencakup sebagai tambahan segala bentuk kewajiban, kebenaran dan kesucian.
2.        Nilai sebagai kata benda konkret. Contohnya ketika kita berkata sebuah nilai atau nilai-nilai. Ia sering dipakai untuk merujuk kepada sesuatu yang bernilai, seperti nilainya atau nilai dia.
3.        Nilai juga dipakai sebagai kata kerja dalam ekspresi menilai, memberi nilai atau dinilai.
Dari definisi aksiologi di atas, terlihat dengan jelas bahwa permasalahan utama adalah mengenai nilai. Nilai yang dimaksud adalah sesuatu yang dimiliki manusia untuk melakukan berbagai pertimbangan tentang apa yang dinilai. Teori tentang nilai yang dalam filsafat mengacu pada masalah etika dan estetika.
Terkait dengan nilai etika atau moral, sebenarnya ilmu sudah terkait dengan masalah-masalah moral, namun dalam perspektif yang berbeda. Nilai menyangkut sikap manusia untuk menyatakan baik atau jelek, benar atau salah, diterima atau ditolak. Dengan demikian manusia memberikan konfirmasi mengenai sejauh mana manfaat dari obyek yang dinilainya. Demikian juga terhadap ilmu.
Ilmu dan moral memiliki keterkaitan yang kuat. Ilmu bisa jadi malapetaka kemanusiaan jika seseorang yang memanfaatkannya “tidak bermoral” atau paling tidak mengindahkan nilai-nilai moral yang ada. Namun sebaliknya, ilmu akan  menjadi rahmat bagi kehidupan manusia jika dimanfaatkan secara benar dan tepat,tentunya tetap mengindahkan aspek moral. Berbicara moral sama artinya berbicara masalah etika atau susila, mempelajari kaidah-kaidah yang membimbing kelakuan manusia sehingga baik dan lurus.Karena moral umum diukur dari sikap manusia pelakunya,timbul pula perbedaan penafsiran .
5
Masalah etika atau susila mengakibatkan pula berbagai pendapat tentang etika tergantung citra dan tujuannya. Ada etika individual dan sosial, ada etika situasi dan esensial. Dua pertentangan dalam etika modern, yaitu etika yang memperhatikan faktor psikologi secara nilai kebahagiaan, dan etika situasi atau historisme yang berpendapat bahwa ukuran baik dan jahat ditentukan oleh situasi atau keadaan zaman.
Adapun dari sisi estetika, maka titik tekannya adalah pada penilaian subjek terhadap objek, atau berusaha memilah dan membedakan suatu sikap atau perbuatan objek. Penilaian ini, kadang objektif dan kadang subjektif tergantung hasil pandangan yang muncul dari pikiran dan perasaan manusia.
Penilaian menjadi subjektif apabila nilai sangat berperan dalam segala hal. Mulai dari kesadaran manusia yang melakukan penilaian sampai pada eksistensinya dalam lingkungan. Untuk itu, makna dan validitasnya tergantung pada reaksi subjek pada objek yang dinilai tanpa mempertimbangkan apakah ini bersifat psikis atau fisik. Artinya, penilaian subjektif akan selalu memperhatikan akal budi manusia, seperti perasaan dan intelektualitas. Makanya, hasil dari penilaian ini selalu mengarah pada suka atau tidak sukanya subjek, atau senang dan tidak senang. Seperti, keindahan sebuah karya seni tidak dikurangi dengan selera (perasaan) rendah orang yang menilai.

2.2. Pengertian Ilmu Dan Moral
            Menurut kamus besar bahasa indonesia, ilmu adalah pengetahuan tentang sesuatu bidang disusun secara bersistem  menurut metode tertentu yang dapat digunakan untuk menerangkan gejala tertentu dibidang pengetahuan ilmu. Ilmu bukan sekedar pengetahuan tetapi merangkum sekumpulan pengetahuan berdasarkan teori-teori yang disepakati dan dapat secara sistematik diuji dengan seperangkat metode yang diakui dalam bidang tertentu.
            Sedangkan kata moral berasal dari bahasa latin yaitu, mos yang berarti kebiasaan. Moral berasal dari bahasa latin yaitu, moralitas adalah istilah manusia menyebut manusia atau orangl lainnya dalam tindakan yang memepunyai nilai positif. Moral juga dapat diartikan sebagai sikap, perilaku, tindakan, kelakuan yang dilakukan seseorang pada saat mencoba melakukan sesuatu berdasarkan pengalaman. Sedangkan manusia yang tidak memiliki moral disebut amoral artinya
6
dia tidak bermoral. Yang tidak memiliki nilai positif dimata manusia lainnya sehingga moral adalah mutlak yang harus dimiliki manusia.
            Asal usul yang melatar belakangi filsafat moral adalah istilah etika yang dipakai aristoteles. Etika bersal dari bahasa yunani kuno etika yaitu etos sedangkan jamaknya taeta. Etos mempunyai banyak arti yaitu tempat tinggal yang biasa, kebiasaan atau adat, akhlak, watak, perasaan, sikap, cara berfikir. Sedangkan arti dari taeta yaitu adat kebiasaan.
            Tidak dapat dipungkiri bahwa peradaban manusia sangat berhutang pada ilmu dan teknologi.Ilmu merupakan unsur dari pengetahuan manusia karena dengan ilmu manusia dapat memenuhi kebutuhannya secara praktis sehingga ilmu merupakan alat atau sarana untuk menolong hidup manusia dalam mencapai tujuan hidupnya. Setiap ilmu pengetahuan akan menghasilkan teknologi yang kemudian akan diterapkan pada masyarakat. Teknologi dapat diartikan sebagai penerapan konsep ilmiah dalam memecahkan masalah praktis baik yang berupa perangkat keras maupun perangkat lunak. Dalam tahap ini ilmu tidak hanya menjelaskan gejala alam untuk tujuan pengertian atau pemahaman namun lebih jauh lagi memanipulasi faktor-faktor yang terkait dalam gejala tersebut untuk mengontrol dan mengarahkan proses yang terjadi. Disinilah masalah moral muncul kembali namun dal;am kaitannya dengan faktor lain, kalau dalam kontempolasi moral berkaitan dengan metafisika maka dalam tahap manipulasi ini masalah moral berkaitan dengan cara penggunaan ilmu pengetahuan atau secara filsafati dalam tahap penerapan konsep terdapat masalah moral ditinjau dari segi aksiologi keilmuan. Ilmu pengetahuan merupakan lanjutan konsepsional dari ciri “ingin tahu” sebagai kodrat manusiawi. Tetapi ilmu pengetahuan itu menuntut persyaratan-persyaratan khusus dalam pengaturannya (Bakker, 1990).
Menurut Jujun S. Suriasumantri, 2013: 234 bahwa secara filasafati dapat dikatakan dalam tahap pengembangan konsep terdapat masalah moral yang ditinjau dari ontology keilmuan, sedangkan dalam tahap penerapan konsep terdapat moral ditinjau dari segi aksiologis keilmuwan. Ontologi diartikan sebagai pengkajian mengenai hakikat realitas dari objek yang ditelaah dalam membuahkan pengetahuan, aksiologi diartikan sebagai teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh.
            Teori tentang nilai dalam filsafat membahas tentang etika dan estetika dimana makna

7
Ketika mempunyai dua arti  yaitu merupakan suatu kumpulan pengetahuan mengenai penilaian
terhadap perbuatan manusia dan suatu predikat yang dipakai untuk emmebedakan perbuatan tingkah laku atau yang lainnya. Nilai atau value dapat bersifat objektif kadang-kadang bersifat subjektif. Dikatakan objektif jika nilai-nilai tersebut tidak bergantung pada sabjek atau kesadaran yang menilai. Salah satu nilai kegunaan ilmu yaitu dapat bermanfaat bagi seluruh umat manusia. Tugas filsafat ilmu pengetahuan adalah membuka pikiran kita untuk mempelajari dengan serius proses logis dan imajinatif dalam kerja ilmu pengetahuan (Keraf, 2011).
            Setiap ilmu pengetahuan menghasilkan teknologi yang kemudian akan diterapkan pada masyarakat. Teknologi dapat diartikan sebagai penerapan konsep ilmiah dalam memecahkan masalah-masalah pra ktis baik yang berupa perangkat keras (hardware) maupun perangkat lunak (software). Dalam tahap ini ilmu tidak hanya menjelaskan gejala alam untuk tujuan pengertian dan pemahaman, namun lebih jauh lagi memanipulasi factor-faktor yang terkait dalam tersebut untuk mengotrol dan mengarahkan proses yang terjadi. Disinilah masalah moral muncul kembali, namun dalam kaitannya dengan factor lain.Kalau dalam tahap kontempolasi moral berkaitan dengan metafisika maka dalam tahap manipulasi ini masalah moral berkaitan dengan cara penggunaan ilmu pengetahuan, atau secara filsafati dalam tahap penerapan konsep terhadap masalah moral ditinjau dari segi aksiologi keilmuwan (Endrotomo, 2004)
            Ilmu pada hakekatnya mempelajari alam yang mengandung banyak pertanyaan: untuk apa sebenarnya ilmu digunakan? Dimana wewenang penjelajahan ilmu? Kearah mana perkembangan diarahkan? Pertanyaan ini urgensi bagi ilmuwan seperti Copernicus, Galileo, dan ilmuwan seangkatannya; namun bagi ilmuwan yang hidup dalam abad keduapuluh yang telahdua kali mengalami perang dunia dan hidup dalam bayangan kekhawatiran, pertanyaan itu tak dapat mereka elakkan. Ilmuwan menjawab dengan berpaling pada hakikat moral.
            Ketika Copernicus (1473-1543) mengajukan teorinya tentang kesemestaan alam dan menemukan bahwa “bumi yang berputar mengelilingi matahari” dan bukan sebaliknya seperti apa yang diajarkan diagama, maka timbullah interaksi antara ilmu dan moral  (yang bersumber pada ajaran agama) yang berkonotasi metafisik. Secara metafisik ilmu ingin mempelajari alam sebagaimana adanya , sedangkan dipihak lain terdapat keinginan ilmu berdasarkan pada nilai-

8
nilai yang terdapat dalam ajaran diluar bidang keilmuan yaitu agama. Timbullah konflik hingga Galileo 1633 mencabut pernyataan bahwa bumi berputar mengelilingi matahari.
Menurut Bakhtiar (2010) bahwa Berdasarkan sejarah tradisi islam ilmu tidaklah berkembang pada arah yang tak terkendai, tetapi ia harus bergerak pada arah maknawi dan umat berkuasa untuk mengendalikannya. Kekuasaan  manusia atas ilmu pengetahuan harus mendapat tempat yang utuh, eksistensi ilmu pengetahuan bukan “melulu” untuk mendesak kemanusiaan, tetapi kemanusiaanlah yang menggenggam ilmu pengetahuan untuk kepentingan dirinya dalam rangka penghambaan diri kepada sang pencipta. 
Masalah teknologi yang mengakibatkan proses dehumanisasi lebih merupkan masalah kebudayaan daripada masalah moral. Artinya, dihadapkan dengan ekses teknologi yang bersifat negative ini membuat masyarakat harus menentukan teknologi mana saja yang akan dipergunakan dan mana yang tidak. Buku Erich Schumacher yang berjudul “ Small is Beautiful” merupakan salah satu usaha untuk mencari alternative penerapan teknologi bersifat manusiwi.
Dihadapkan dengan maslah moral dalam menghadapi ekses ilmu an teknologi yang negative membuat para ilmuwan terpecah dalam dua golongan pendapat:
a)      - Golongan pertama menginginkan bahwa ilmu harus bersifat netral terhadap nilai-nilai baik itu secara ontologism maupun aksiologis. Ilmuwan disini menemukan pengetahuan menyerahkan pada orang lain untuk mengunakannya: apakah untuk baik atau buruk.
-Golongan ini ingin melanjutkan tradisi kenetralan ilmu secara total .
b)      - Golongan kedua sebaliknya berpendapat bahwa netralitas ilmu terhadap nilai-nilai hanyalah terbatas pada metafisik keilmuan, sedangkan dalam penggunaannya  dan pemilihan objek penelitian berlandaskan pada asas-asas moral.  Tahap tertinggi dalam kebudayaan moral manusia ujar Charles Darwin dalam buku “Filsafat Ilmu” , Jujun S Suriasumantri, 2013:235 adalah ketika kita menyadari bahwa kita seyogyanya mengontrol pikiran kita.
-Golongan ini mencoba menyesuaikan kenetralan ilmu secara pragmatis berdasarkan perkembangan ilmu dan masyarakat. Golongan ini juga mendasarkan pendapatnya pada beberapa hal, yaitu: ilmu secara factual telah dipergunakan secara destruktif oleh
    9
manusia yang dibuktikan denganadanya dua perang dunia yang mempergunakan teknologi keilmuan, ilmu berkembang dengan pesat dan makin esoteric sehingga kaum ilmuwan lebih mengetahui tentang ekses-ekses yang mungkin terjadi bila terjadi penyalahgunaan, ilmu telah berkembang sedemikian rupa dimana terdapat kemungkinan bahwa ilmu dapat mengubah manusia dan kemanusiaan yang paling hakiki seperti pada kasus revolusi genetika dan teknik perubahan social.  Jadi ilmu secara moral harus ditujukan untuk kebaikan manusia tanpa merendahkan martabat atau mengubah hakikat kemanusiaan.

            Masalah moral tak bisa dilepaskan dengan tekad manusia untuk menemukan kebenaran, sebab untuk menemukan dan mempertahankan kebenaran diperlukan keberanian moral. Tanpa landasan moral maka ilmuwan mudah tergelincir dalam melakukan prostitusi intelektual.
2.3. Nilai Kegunaan Ilmu
Dalam kamus besar bahasa Indonesia ilmu diartikan sebagai pengetahuan tentang suatu bidang yang disusun secara bersistem atau berhubungan menurut metode-metode tertentu yang dapat digunakan untuk menerangkan gejala-gejala tertentu pula. Dalam aksiologi, hal yang paling dipermasalahkan ialah nilai. Disini nilai yang dimaksud adalah sesuatu yang dimiliki manusia untuk melakukan berbagai pertimbangan tentang apa yang dinilai. Selanjutnya, aksiologi dijelaskan sebagai kegunaan ilmu pengetahuan bagi kehidupan manusia. Teori tentang nilai dalam filsafat dibagi menjadi permasalahan etika dan estetika. Menurut (Rahmat , 2011) bahwa ilmu pengetahuan diperoleh secara sahih dan andal dengan suatu penyelidikan ilmiah, yaitu penelitian, maka ia merupakan sebuah proposisi yang timbul sebagai hasil dari kesimpulan suatu proses pencarian pengetahuan yang sistematis dan terkontrol.
Etika dimaknai sebagai suatu kumpulan pengetahuan mengenai penilaian terhadap perbuatan-perbuatan manusia. Etika menilai perbuatan manusia yang berkaitan erat dengan norma-norma kesusilaan manusia atau diartikan untuk  mempelajari tingkah laku manusia ditinjau dari segi baik dan tidak baik didalam suatu kondisi yang normatif, yaitu suatu kondisi yang melibatkan norma-norma. Sedangkan estetika berkaitan dengan nilai tentang pengalaman

10
keindahan yang dimiliki oleh manusia terhadap lingkungan dan fenomena di sekelilingnya. Dalam filsafat estetika dapat dilihat pada sudut indah dan jeleknya.
Nilai subjektif dapat bersifat subjektif dan objektif. Nilai dapat bersifat subjektif jika selalu memperhatikan berbagai pandangan yang dimiliki akal budi manusia, seperti perasaan, intelektualitas. Hasil nilai subjektif selalu akan mengarah kepada suka atau tidak suka, senang atau tidak senang. Misalnya, seorang melihat matahari yang sedang terbenam disore hari. Akibat yang dimunculkannya adalah menimbulkan rasa senang karena melihat betapa indahnya matahari terbenam itu. Ini merupakan nilai yang subjektif dari seseorang dengan orang lain memiliki kualitas yang berbeda. Sedangkan Nilai objektif muncul karena adanya pandangan dalam filsafat tentang objektivisme. Objektivisme ini didasarkan suatu gagasan berada pada objeknya, sesuatu yang memiliki kadar secara realitas benar-benar ada. Misalnya, kebenaran tidak tergantung pada pendapat individu, melainkan pada objektivitas fakta.
Nilai kegunaan ilmu, untuk mengetahui kegunaan filsafat ilmu atau untuk apa filsafat ilmu itu digunakan, kita dapat memulainya dengan melihat filsafat sebagai tiga hal, yaitu:
1.      Filsafat sebagai kumpulan teori digunakan memahami dan mereaksi dunia pemikiran. Jika seseorang hendak ikut membentuk dunia atau ikut mendukung suatu ide yang membentuk suatu dunia, atau hendak menentang suatu sistem kebudayaan atau sistem ekonomi, atau sistem politik, maka sebaiknya mempelajari teori-teori filsafatnya. Inilah kegunaan mempelajari teori-teori filsafat ilmu.
2.      Filsafat sebagai pandangan hidup. Filsafat dalam posisi yang kedua ini semua teori ajarannya diterima kebenaranya dan dilaksanakan dalam kehidupan. Filsafat ilmu sebagai pandangan hidup gunanya ialah untuk petunjuk dalam menjalani kehidupan.
3.      Filsafat sebagai metodologi dalam memecahkan masalah. Dalam hidup ini kita menghadapi banyak masalah. Bila ada batui didepan pintu, setiap keluar dari pintu itu kaki kita tersandung, maka batu itu masalah. Kehidupan akan dijalani lebih enak bila masalah masalah itu dapat diselesaikan. Ada banyak cara menyelesaikan masalah, mulai dari cara yang sederhana sampai yang paling rumit. Bila cara yang digunakan amat sederhana maka biasanya masalah tidak terselesaikan secara tuntas.penyelesaian yang detail itu biasanya dapat mengungkap semua masalah yang berkembang dalam kehidupan manusia.

11
2.4.  Tanggung Jawab Sosial Keilmuwan
Ilmu merupakan hasil karya ilmuwan yang dikomunikasikan dan dikaji secara terbuka oleh masyarakat. Jika hasil karyanya itu memenuhi syarat – syarat keilmuwan maka pasti akan diterima dan disunakan oleh masyarakat. Oleh karena itu, ilmuwan memiliki tanggung jawab sosial yang besar. Tanggung jawab sosial seorang ilmuwan adalah memberikan perspektif yang benar: untung dan rugi, baik dan buruknya, sehingga penyelesaian yang objektif dapat dimungkinkan. Hal ini dikarenakan dia mempunyai fungsi tertentu dalam kelangsungan hidup manusia. Ilmuwan juga meniliki fungsi untuk ikut bertanggung jawab agar produk keilmuwan sampai dan dapat dimanfaatkan oleh masyarakat. Sikap sosial seorang ilmuan adalah konsisten dengan proses penelaahan keilmuan yang dilakukan. Ilmuwan juga harus berusaha mempengaruhi opini masyarakat berdasarkan pemikirannya. Ilmuwan juga mempunyai cara berpilir yang berbeda dari masyarakat awam. Masyarakat awam biasanya terpukau oleh jalan pikiran yang cerdas. Kelebihan seorang ilmuwan juga nampak dalam cara berpikir yang cermat dan teratur yang menyebabkan dia mempunyai tanggung jawab sosial.
Untuk membahas ruang lingkup yang menjadi tanggung jawab seorang ilmuwan dikembalikan pada hakikat ilmu itu sendiri. Sikap social seorang ilmuwan adalah konsisten dengan proses penelaahan keilmuan yang dilakukan. Ilmu itu sendiri netral dan para ilmuwan itu sendirilah yang memberinya nilai.Misal, seorang ilmuwan dibidang hokum bersuara mengenai praktek ketidak adilan dan bersikap lantang agar masalah dijadikan objek penyelidikan. Bisakah kita mengatakan bahwa dia tidak didorong oleh nilai-nilai tertentu yang menyebabkan dia terikat oleh masalah tersebut?
Peranan Ilmuwan sangat imperative, dialah yang mempunyai latar belakang pengetahaun yang cukup untuk dapat menempatkan masalah pada proporsi sebenarnya.Untuk itu, dia punya kewajiban social untuk menyampaikan hal itu kepada masyarakat dalam bahasa yang mudah dimengerti.  Karena saat menghadapi masalah yang kurang dimengerti biasanya masyarakat bersikap ekstrem , ada juga bersikap radikal dan irasional.
Ilmuwan berdasarkan pengetahuannya punya kemampuan meramalkan apa yang akan terjadi, missal dengan proses pendidikan sekarang. Apakah system pendidikan kita

12
memungkinkan Negara kita mengejar keterbelakangan dibidang ilmu dan teknologi dimasa yang akan datang? Jika tidak apa yang harus dilakukan? Kerugian apa yang timbul? Pertanyaan ini serupa juga dengan pertanyaan diberbagai bidang seperti kependudukan, energy, sumber alam, dan pemukiman.
Manusia dalam usaha menemukan kebenaran banyak menempuh cara beragam sehingga menimbulkan pemeo: kepala sama berambut namun pendapat berlainan. Pikiran manusia dipergunakan untuk menemukan dan mempertahankan kebenaran serta hal-hal yang tidak benar. Kadang benar kadang salah. Namun seorang ilmuwan hakikatnya adalah manusia yang biasa berfikir dengan teratur dan teliti.
Tanggung jawab sosial seorang ilmuwan adalah memberikan perspektif yang benar: untung dan rugi, baik dan buruknya, sehingga penyelesaian yang objektif dapat dimungkinkan. Dibidang etika tanggungjawab sosial seseorang ilmuwan bukan lagi memberi informasi namun memberi contoh. Seorang ilmuwan juga harus bersifat obyektif, terbuka, menerima kritik dan pendapat orang lain, kukuh dalam pendiriannya, dan berani mengakui kesalahannya. Seorang ilmuwan secara moral tidak akan membiarkan hasil penelitian atau penemuannya dipergunakan untuk menindas bangsa lain meskipun yang mempergunakan bangsanya sendiri.














13
BAB III
KESIMPULAN

Seorang ilmuwan mempunyai tanggungjawab agar produk keilmuwan sampai dan dapat dimanfaatkan dengan baik oleh masyarakat. Dalam menggunakan ilmu kita harus menggunakannya untuk kepentingan bersama karena ilmu merupakan alat untuk meningkatkan taraf hidup dan bermanfaat bagi setiap orang apabila ilmu yang kita dapat digunakan berdasarkan nilai atau etika, kodrat dan martabat manusia. Maka dari itu kegunaan dan manfaat dari ilmu itu sendiri dikaji dalam aksiologi. Dimana, Aksiologi adalah kegunaan ilmu pengetahuan bagi kehidupan manusia. Ilmu menghasilkan teknologi yang diterapkan dan dikembangkan pada masyarakat. Teknologi dalam perkembangannya dapat menjadi berkah dan penyelamat bagi manusia, tetapi juga dapat menjadi bencana bagi manusia.
Dewasa ini teknologi dan ilmu pengetahuan telah berkembang pesat. Manusia telah menerapkan keduanya delam kehidupannya sehari – hari. Namun, manusia juga masih banyak menggunakan teknologi dan pengetahuan secara menyimpang maka hal ini yang menyebabkan bencana pada manusia itu sendiri.
Dengan didukung oleh teknologi yang modern dan perkembangan ilmu pengetahuan yang pesat seharusnya manusia memanfaatkan hal tersebut sebaik mungkin. Manusia dapat berpikir kreatif agar memperoleh sesuatu yang diharapkan.











14
DAFTAR PUSTAKA

Bakhtiar, amsal. 2010. Filsafat Ilmu. Jakarta:Rajawali pers.

Bakker, Anton, dkk. 1990. Metodologi Penelitian Filsafat. Yogyakarta: Kanisius.

Endrotomo. 2004. Ilmu dan Teknologi. Information System ITS.

Fauziarti, Benni Farida. Dimensi aksiologi dalam filsafat. Diambil dari internet.

http//id.shvoong.com/social-sciences/education/2124658-dimensi-aksiologi dalam
filsafat-pendidikan/ pada tanggal 10 maret 2014.

http://id.wikipedia.org/wiki/aksiologi pada tanggal 10 maret 2014.


Keraf, A. Sonny, dkk. 2001. Ilmu Pengetahuan sebuah tinjauan filosofis.
Yogyakarta: Kanisius.

Poedjawijatna. 2004. Tahu dan Pengetahuan. Jakarta : Rineka Cipta.

Rahmat, aceng dkk. 2011. Filsafat Ilmu Lanjutan. Jakarta: Kenca Predana Media
Group.

S. Suriasumantri, Jujun.1996. Filsafat ilmu sebuah pengantar populer. Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan.



15


Komentar

  1. Mantap sekali tulisannya.
    Sangat bermanfaat buat dijadikan referensi.
    Mohon kunjungi blog saya juga ya.
    FAJRIN MAULANA

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

makalah filsafat dari masa ke masa

Embrio Tesis Analisis Puisi Doa di Jakarta Karya WS Rendra (Kajian Struktural)